Di usianya yang belia, diam-diam sudah mulai mempelajari tentang dirinya. Kisahnya berawal dari darah luka di pelipis dan daun telinga sebagai hadiah hari minggu karena berhasil mengumpulkan buah "karsen" dari satu pohon ke pohon yang lain. Saya larang tapi tak dihiraukan. Akhirnya dia berhenti sendiri ketika jatuh dari pohon "karsen" itu.
Esoknya, semasih di atas motor sepulang dari madrasah ibtidaiyah tempat dia menimba ilmu tiba-tiba terlontar pertanyaannya yang cukup filosofis "Bapak, kenapa mesti ada darah dalam tubuhta, untuk apa Tuhan buat seperti itu?"
Saya jawab sederhana saja, supaya kita tetap bisa hidup karena orang mati sudah tidak punya darah.
=====
Apakah memang "darah" adalah kehidupan itu sendiri ataukah darah hanya "media" dimana kehidupan melekat padanya?
Apakah sudah benar jika saya bangun preposisi "darah = kehidupan".