Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Kotak Surat Pos (Brievenbus) di Purwakarta

15 Juni 2021   14:00 Diperbarui: 30 Oktober 2022   17:16 1666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lith. exterieur DRU fabrieken met linksonder de neo-eclectische directievilla “Zeno”

Gambaran Umum Kotak Surat Pos

Siapakah yang pernah melihat kotak surat pos seperti ini? Ya, benar, di Kabupaten Purwakarta hanya tinggal 2 (dua) buah yang sekaligus menjadi semacam gapura di depan Kantor Pos dan Giro Purwakarta, satu buah berada di sisi sebelah Utara dan satu buah lagi berada di sisi sebelah Selatan. Dahulu pernah ada beberapa buah, seingatku pernah ada juga di Pasar Rebo, Pasar Jumat dan di beberapa tempat lainnya.

Kotak surat ini bertuliskan "Brievenbus" yang berarti kotak surat pada bagian depan atas (kepala). Tulisan "Buslichting" pada bagian badan (dada) yang berarti diangkat, dikoleksi atau dikumpulkan yang pada jaman dahulu ada tulisan No. 1, No. 2, No. 3 yang berarti diangkat pada waktu (jam) sekian ... sekian ... sekian ... dalam sehari, kotak surat yang berada di sebelah Utara justru tulisan ini hilang, sedangkan kotak surat yang berada di sebelah Selatan malah masih lengkap. Terdapat juga tulisan "De Lichting No. ... (1, 2, 3, 4)" yang berarti nomor batch yang justru keberadaannya belum diketahui dan tulisan "Is Geschied" yang berarti telah terjadi atau telah selesai dikerjakan. Juga tulisan "Diepenbrock & Reigers Ulft - 1911" yang berarti nama pabrik atau perusahaan pabrikan Diepenbrock & Reigers, Ulft, dengan tahun pembuatan 1911 pada sebelah kanan dan kiri bagian atas (kepala).

Foto: Ahmad Said Widodo
Foto: Ahmad Said Widodo
Kotak surat ini dibuat dengan bahan besi cor atau besi tuang, mempunyai ukuran tinggi +/- 200 cm, ukuran panjang/lebar/tinggi badan besi 36 x 52 x 127 cm, ukuran panjang/lebar/tinggi alas kaki kaki besi 56 x 92,50 x 8 cm dengan berat +/- 360 kg. Ada ember atau baki penampung bagian dalam yang dapat dikunci di kotak surat pos ini pada saat itu. Ember atau baki penampung ini hanya bisa dikosongkan oleh petugas pos resmi di kantor pos. Sayangnya kotak surat yang ada di depan Kantor Pos dan Giro Purwakarta sudah tidak digunakan lagi dan juga tidak diketahui kemanakah anak kuncinya, barangkali masih disimpan oleh pihak Kantor Pos dan Giro. Jadi kotak surat ini digunakan hanya sebagai pajangan dan memori sejarah pos di Purwakarta.

Foto: Ahmad Said Widodo
Foto: Ahmad Said Widodo
Gambaran Khusus Kotak Surat Pos

Hasil Analisa Ahmad Said Widodo
Hasil Analisa Ahmad Said Widodo
Sekilas Sejarah Kotak Surat

Penggunaan kotak surat pos ini kabarnya pertama kali digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1829 di Kantor Pos Batavia. Sedangkan penggunaannya untuk umum disediakan di Semarang pada tahun 1850 dan di Surabaya pada tahun 1864 dan menjamur ke seluruh cabang kantor pos di Hindia-Belanda.

Kotak surat seperti ini  digunakan antara tahun 1851 dan 1964 di negeri Belanda. Sampai tahun 1897, pengecoran L.J. Enthoven di Den Haag, yang populer disebut De Pletterij, memiliki hak eksklusif untuk memproduksi kotak surat ini. Sampai tahun 1930, bus-bus ini masih dibuat oleh, antara lain, DRU (Diepenbrock & Reigers Ulft) dan pengecoran besi Nering Bögel dari Deventer. Pada tahun 1930 ada pembicaraan tentang 1.863 buah yang tersebar di seluruh negeri Belanda dan kemungkinan termasuk di Hindia Belanda. Ketika diputuskan untuk menggantinya secara permanen pada tahun 1963, jumlah ini turun menjadi 900. Dikatakan bahwa sekitar 30 tetap di tempat umum dan semi-publik. Sisanya akan berakhir di halaman memo atau museum.

Kotak surat tertua hadir di museum komunikasi dan dikenal sebagai satu-satunya salinan dari tahun itu yang masih diketahui. Hal ini terlihat dari dasar batu/beton di bawah kotak surat, fakta bahwa nomor batch belum diterapkan di bagian depan dan kotak surat surat belum dicetak tetapi kemudian diterapkan dalam perunggu.

Itu perkiraan jumlah bus yang tersisa. Hal ini sebagian karena beratnya 360 kg dibuang. Dan fakta bahwa properti publik tidak boleh jatuh ke tangan pribadi. Bus terakhir biasanya ditemukan di pusat-pusat tua atau tempat-tempat museum. Di Breda ada satu lagi, di museum udara terbuka Arnhem, di Zaansche Schans, Stasiun Pusat Amsterdam, Orvelte.

Di Indonesia belum ada data yang pasti berapa jumlah terbanyak pada masanya dan berapa banyak yang tersisa hingga sekarang dan dikemanakan mereka sekarang berada. Apakah kemungkinan mereka diperjualbelikan atau dilelang, dibesituakan dan/atau didaur-ulang? Belum ada keterangan yang pasti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun