Kunang-kunang, serangga kecil yang mampu menghasilkan cahaya alami, telah lama menjadi simbol keajaiban malam. Dengan sinarnya yang menari lembut di kegelapan, kunang-kunang tidak hanya memikat mata anak-anak dan dewasa, tetapi juga memainkan peran penting dalam keseimbangan ekosistem. Namun kini, cahaya mereka semakin jarang terlihat. Generasi sekarang dikhawatirkan menjadi generasi terakhir yang bisa menyaksikan keindahan alami ini secara langsung.
Kunang-kunang termasuk dalam famili Lampyridae dari ordo Coleoptera. Mereka menghasilkan cahaya melalui proses bioluminesensi, yaitu reaksi kimia antara luciferin, luciferase, oksigen, dan ATP di dalam tubuhnya. Sinar yang dihasilkan disebut "sinar dingin" karena hampir tidak menghasilkan panas. Warna cahaya yang muncul biasanya merah pucat, kuning, atau hijau, dengan efisiensi cahaya yang sangat tinggi hingga 96%.
Namun sayangnya, populasi kunang-kunang di dunia, termasuk di Indonesia, mengalami penurunan drastis. Beberapa faktor utama penyebabnya antara lain:
1. Kehilangan Habitat
Alih fungsi lahan menjadi kawasan industri, pemukiman, dan pertanian skala besar telah menghancurkan habitat alami kunang-kunang. Serangga ini sangat bergantung pada lingkungan yang lembab seperti sawah, hutan, dan rawa-rawa.
2. Polusi Cahaya
Lampu jalan, gedung, dan rumah menyebabkan gangguan pada sistem komunikasi cahaya antar kunang-kunang. Akibatnya, mereka kesulitan menemukan pasangan dan berkembang biak secara alami.
3. Penggunaan Pestisida
Pestisida kimia yang digunakan dalam pertanian tidak hanya membunuh serangga langsung, tetapi juga mencemari lingkungan serta membunuh hewan kecil yang menjadi mangsa kunang-kunang, seperti siput dan cacing kecil.