Bab 5: Menyalakan Api di Pelosok Negeri
Yogyakarta, Agustus 2025.
Di sebuah aula sederhana milik sekolah menengah kejuruan di pinggiran Gunung Kidul, puluhan pasang mata memandang Rania dengan antusias. Sebagian besar dari mereka adalah siswi kelas 10 hingga 12 beberapa mengenakan seragam, sebagian lain berkerudung, dan semuanya memegang laptop bekas yang telah direparasi tim CyberSage.
"Siapa bilang perempuan desa nggak bisa coding?" Rania membuka sesi pelatihan dengan senyum lebar. "Hari ini, kita buktikan sebaliknya."
Program "CyberSister", inisiatif baru yang diluncurkan oleh CyberSage, ditujukan untuk memberi pelatihan teknologi dasar dan keamanan digital bagi perempuan muda di daerah tertinggal. Program ini tak hanya membawa teknologi ke desa, tapi juga harapan baru bagi mereka yang sebelumnya tak pernah menyentuh laptop.
Setiap angkatan CyberSister akan dibimbing selama tiga bulan. Mereka belajar membuat aplikasi sederhana, memahami dasar keamanan siber, hingga cara membangun portofolio online untuk pekerjaan jarak jauh.
Dan yang lebih penting: mereka belajar percaya pada diri sendiri.
Usai sesi pelatihan hari itu, seorang siswi bernama Risa menghampiri Rania. Matanya berbinar-binar, pipinya kemerahan karena malu dan semangat yang membuncah.
"Mbak Rania," katanya, "aku dulu pengin banget kuliah teknik informatika. Tapi bapak bilang, 'ngapain perempuan ngoding, toh ujung-ujungnya di dapur.' Tapi sekarang... aku jadi pengin buktiin kalau aku bisa."
Rania menahan senyum, matanya sedikit berkaca-kaca. "Bapak kamu nggak salah, Ris. Perempuan memang bisa di dapur. Tapi juga bisa di panggung, di kantor, di startup, di mana saja. Kita bebas memilih."