Mohon tunggu...
Ahmad Sofian
Ahmad Sofian Mohon Tunggu... Dosen -

Ahmad Sofian. senang jalan-jalan, suka makanan tradisional dan ngopi di pinggir jalan :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekerasan Seksual terhadap Pekerja Anak Jermal di Pantai Timur Sumatera Utara

19 April 2011   09:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:38 4600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MASALAH pekerja anak (child labour) bukan hanya masalah sosial di Indonesia namun telah menjadi isu dan agenda global bangsa-bangsa di dunia. Di Indonesia diperkirakan jumlah anak-anak yang aktif secara ekonomi sebagai pekerja anak mencapai 7 juta orang (Irwanto, 2000). Bahkan ada yang memperkirakan lebih besar lagi yaitu mencapai 12 juta jiwa (Progresia, 2001). Angka yang berbeda mengenai jumlah pekerja anak ini karena pertimbangan atas batasan dan konsep pekerja anak.

Anak-anak yang masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan. Konstalasi ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif, upah murah dan pekerjaan yang berbahaya.

Masalah anak-anak yang bekerja erat kaitannya dengan dimensi eksploitatif, berikut dimensi tertentu yang meningkat kepada derajat kesewenangan dan tindakan kurang manusiawi terhadap anak-anak yang bekerja di jermal perairan Pantai Timur Sumatera Utara.

Konstruksi pengeksploitasian pekerja anak berikut kondisi kerja paksa yang dialaminya menjadikan kondisi pekerja anak jermal itu sebagai eksploitasi nyata yang tidak tersembunyi lagi.

Tentang Jermal

Jermal merupakan unit bangunan tempat penangkapan ikan, dibangun di tengah perairan lautan Selat Malaka, yang berada pada kawasan sepanjang Pantai Timur Sumatera Utara. Setiap jermal dihuni oleh 4-9 orang anak (usia 11-16 tahun), 2-5 pekerja dewasa, dan ditambah seorang mandor/ wakil mandor yang mengawasi pekerja anak-anak tersebut. Jermal ini digunakan untuk menangkap hasil laut seperti cumi-cumi, ikan teri. Jermal didirikan pada kedalaman laut di atas 17 meter.

Bangunan jermal seluruhnya terbuat dari bahan baku kayu, lantai terbuat dari papan dan seng sebagai atap. Jarak antara bibir pantai dengan lokasi jermal tidak sama antara jermal yang satu dengan jermal yang lain. Ada yang jaraknya hanya 10 km, tetapi ada juga yang jaraknya lebih dari 25 km seperti jermal-jermal yang ada di Kabupaten Asahan. Sebagai contoh, yang ada di sekitar Pulau Salah Nama berjarak lebih dari 25 km. Perjalanan menempuh jermal yang ada di sekitar Pulau Salah Nama ini mencapai 6 jam.

Jumlah jermal di Pantai Timur Sumatera Utara pada tahun 1995 ada sekitar 369 unit. Jumlah ini tersebar pada empat kabupaten yaitu 23 unit di Kabupaten Langkat, 81 unit jermal di Kabupaten Deli Serdang, 192 unit jermal di Kabupaten Asahan dan 73 unit jermal di Kabupaten Labuhan Batu (Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara, 1995).

Tahun 2000 jumlah jermal di Pantai Timur Sumatera Utara mengalami penurunan menjadi hanya tinggal 201 (PKPA, 2000). Penurunan jumlah jermal ini disebabkan karena adanya adanya beberapa jermal yang runtuh karena terkena ombak/ badai, dibongkar oleh pemiliknya karena dianggap tidak menguntungkan lagi.

Jumlah pekerja anak yang bekerja di setiap unit jermal sangat variatif, maksudnya tidak sama untuk setiap unit jermal. Ada yang mempekerjakan 2 orang anak per jermal namun ada juga yang 12 anak per unit jermal.

Bila dirata-ratakan maka jumlah pekerja anak yang bekerja di jermal saat ini lebih kurang 400-500 anak bekerja.

Proses Kerja Buruh Jermal

Dalam setiap jermal, jumlah buruh yang bekerja berkisar 10-16 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4-9 berumur antara 11-16 tahun. Selain buruh, di jermal ini terdapat seorang mandor dan dua orang wakil mandor yang senantiasa mengawasi kerja para buruh.

Jam kerja buruh di jermal ini tidak teratur dan sangat tergantung pada musim, apakah musim pasang hidup (banyak ikan) atau pasang mati (ikan sedikit dan ombak besar). Bila musim pasang hidup, jam kerja buruh jermal biasanya dimulai pukul 02.00 dini hari sampai pukul 20.00 malam. Bila musim pasang mati, mereka bekerja mulai pukul 07.00 pagi sampai dengan pukul 15.00 sore.

Kerja yang mereka lakukan adalah memutar jaring dengan katrol tangan dan ini disebut dengan penggilingan. Jaring ini digiling oleh seluruh buruh jermal, masing-masing memegang katrol tangan. Pada bangunan jermal biasanya terdapat 10-15 katrol dan ini digiling dalam waktu bersamaan. Keselamatan buruh jermal sangat tergantung pada kerja sama dengan buruh-buruh yang lain dalam melakukan penggilingan, sebab pada suatu saat mereka bisa tercampak ke laut atau terkena hantaman katrol yang dipegangnya. Pernah pada tahun 1995, seorang buruh jermal yang bekerja di Labuhan Bilik, Kab. Labuhan Batu tercampak ke laut terkena hantaman katrol dan nasib si buruh sangat tragis, tenggelam di laut.

Selain proses penggilingan yang dilakukan setiap dua jam sekali, buruh juga diharuskan menyortir (memilah) ikan-ikan yang telah ditangkap, kemudian ikan tersebut direbus dan dijemur. Demikian proses ini dilakukan terus menerus setiap hari. Dengan proses ini, waktu istirahat buruh sangat minim.

Dengan beban kerja yang besar, seharusnya pemilik jermal, memperhatikan kesejahteran buruh. Namun, kenyataannya tidak. Sayur, cabe dan bawang didrop dari darat dengan interval waktu dua minggu sekali. Hal ini hanya cukup untuk keperluan 4-5 hari dan selebihnya para buruh hanya makan nasi dengan ikan atau cumi-cumi.

Ikan yang mereka santap hanyalah ikan tertentu yang diizinkan ditangkap oleh mandor. Bila mereka ketahuan memakan ikan yang dilarang (biasanya jenis ikan kerapu, kakap, dan tongkol), upahnya dipotong.

Besarnya upah yang mereka terima sangat tidak sesuai dengan beban kerja yang tinggi dan risiko kerja yang berbahaya. Para buruh jermal hanya diupah berkisar antara Rp. 75.000-Rp.120.000 (US$ 7,5-12), tergantung pada lamanya si buruh bekerja dan kemurahan hati pemilik jermal. Upah tersebut baru mereka terima setelah bekerja tiga bulan.

Selang waktu tiga bulan ini dibolehkan untuk pulang beristirahat selama beberapa hari. Yang boleh pulang ke darat sangat sedikit yang mau kembali lagi ke jermal sehingga untuk mengisi kekosongan jermal, pemilik jermal membayar calo untuk mencari buruh anak yang akan dipekerjakan di jermal.

Calo ini menggunakan segala cara agar calon buruh mau bekerja di jermal, misalnya dengan mengelabui akan dipekerjakan di pabrik dan sebagainya. Untuk mempermudah kerjanya, biasanya calo juga mencari anak jalanan di terminal dengan iming-iming upah besar.

Pengetahuan, Nilai-nilai dan Perilaku Seksual

Perilaku seksualitas dan pemahaman nilai-nilai yang dianut setiap individu saling berbeda. Perilaku, nilai dan pemahaman tersebut merupakan hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya. Dengan demikian, wajar bila perilaku, nilai dan pemahaman seksualitas berbeda karena lingkungannya yang juga berbeda.

Demikian pula dengan perilaku seksualitas pekerja anak jermal di Pantai Timur Sumatera Utara. Mereka hanya berhubungan dengan laki-laki dewasa (sejenis) dalam rentang waktu yang cukup lama dan pada ruang interaksi yang relatif dekat. Mereka berada dalam wacana komunikasi dan sosialisasi yang cenderung isolatif dan limitatif. Hal ini dapat dijadikan alat ukur untuk mendapatkan gambaran perilaku seksualitas mereka yang akan berbeda pula dengan perilaku seksualitas masyarakat umum.

Berbagai faktor bisa memberikan pengaruh perilaku seksual seseorang. Berkaitan dengan hal ini, dalam mempelajari perilaku seksualitas perlu pula diperhatikan beberapa hal lain karena seksualitas di antaranya menyangkut pengetahuan, nilai dan praktek.

Di jermal, arus komunikasi berlangsung antara anak-anak dan sejumlah orang dewasa. Dalam suasana ini, lebih banyak terjadi interaksi antara anak dengan orang dewasa ketimbang interaksi antara anak dengan rekan-rekan sekerjanya yang sebaya.

Hubungan yang terjadi di jermal menjadi terbingkai dalam suasana interaksi yang orang dewasa lebih mendominasi. Di sini berlangsunglah intervensi pemahaman atas banyak pengertian mengenai berbagai topik atau dalam muatan banyak pembicaraan yang berlangsung antara anak dan orang dewasa.

Lingkungan pekerjaan di jermal bukanlah merupakan lingkungan normatif yuridis. Keberadaan hukum sebagai pelindung hak dan kewajiban seseorang tidak mendapatkan tempat yang baik di jermal. Hukum belum menjadi supremasi. Bila terdapat norma atau hukum yang diterapkan di sana, yang menentukan benar atau salah, patut atau tidak, dan lain-lain adalah mereka yang lebih dianggap kuat secara fisik (pekerja dewasa) atau yang lebih berkuasa secara ekonomi (mandor atau tauke).

Konsep tentang kebenaran, kebaikan, kejujuran atau kepantasan tidak digali dari sumber-sumber yang dianggap universal, namun justru lahir secara sepihak. Dominasi orang dewasa terhadap anak-anak di jermal berlangsung dalam subjektivitas orang dewasa yang amat kuat.

Keterbatasan dan kesederhanaan anak dalam berfikir dan memaknai sesuatu acap kali terintervensi oleh pemaknaan yang diberikan orang dewasa. Pendapat ini didasarkan pada dua alasan.

Pertama, rendahnya pengetahuan dan kesadaran hukum yang dimiliki oleh penghuni jermal (pekerja anak, pekerja dewasa, mandor dan tauke). Kedua, sulitnya aparat keamanan yang terkait di sektor kelautan memantau (monitoring) pelaksanaan hukum (khususnya hukum ketenagakerjaan) di jermal.

Penyebab hal kedua ini adalah minimnya dana dan sarana untuk melakukan pemantauan, terbatasnya personil, hingga adanya praktek kolusi yang terjadi antara pengusaha jermal dan aparat keamanan jermal.

Tidak kecuali, konsep seksualitas orang dewasa dan anak-anak di jermal perlu diketahui. Dalam pola komunikasi yang tercipta, hal mengenai nilai, citra, dan orientasi seksualitas anak mendapatkan pengertian-pengertian baru sebagai bagian dari hasil bentukan para orang dewasa yang ada di sana.

Di jermal, lingkungan pekerjaan juga tidak mampu memunculkan seorang figur yang layak dipilih sebagai model atau orang penting (significant person). Model artinya, terdapatnya orang dewasa yang dapat dipercaya oleh anak-anak secara maksimal dan dapat pula dijadikan mereka sebagai teladan dalam menata tingkah laku pribadi dan sosial, yang menyangkut moral secara kognitif.

Dalam kajian psikologi anak, kehadiran significant person ini amat dibutuhkan dalam perkembangan anak, khususnya bagi pembentukan kepribadiannya. Dalam kehidupan para pekerja anak jermal di Pantai Timur Sumatera, pengetahuan tentang seksualitas pada umumnya mereka peroleh berdasarkan atas apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Perilaku mereka cenderung meniru yang terlihat dan terdengar.

Salah seorang pekerja anak, sebut saja Bakriman (14 tahun) berkata sebagai berikut: "Kalau yang dinamakan seks itu ya... seperti ciuman, ngocok (onani), 'main' (bersetubuh). Dan itu enak Bang. Tapi kalau di sini yang bisa hanya ngocok, habis nggak ada perempuan. Kalau aku nggak tahan lagi. Langsung aja ke belakang buka celana dan..." kata Bakriman tidak meneruskan kalimatnya melainkan tertawa.

Sementara itu nilai-nilai seksual yang dipahami oleh pekerja anak-anak jermal relatif terbatas dan sangat sederhana. Disebut terbatas karena seks dipahami sekedar perilaku berupa aktivitas hubungan kelamin (coitus) yang dilakukan oleh pria dan wanita.

Itupun dipahami dalam bahasa 'pasaran' (menurut lidah orang Sumatera Utara berarti bahasa yang terkesan kasar bagi telinga orang terpelajar). Disebut sederhana karena seks dianggap sebagai bentuk pergaulan yang hanya menjadi milik orang dewasa atau mereka yang telah menikah.

Hal di luar coitus (hubungan seksualitas yang umum) seperti anal seks, oral seks atau aspek lain seputar seks seperti kesehatan reproduksi, gender, sensualitas, ketertarikan terhadap lawan jenis, pubertas dan nilai-nilai lain justru dipahami sebagai bagian yang berdiri sendiri, dan itu dianggapnya bukan seks.

Situasi demikian rupa dipengaruhi oleh latar belakang sosiologis saat anak-anak belum bekerja di jermal. Mereka yang terserap bekerja di jermal berasal dari lingkungan sosial yang rendah, pendidikan yang rendah, marjinal secara ekonomi dan minim pengetahuan tentang moralitas dan etika, khususnya yang berkaitan tentang seks. Pengetahuan tentang seks saat mereka masih berada di darat hanya berpijak pada pengetahuan yang diserap dari pembicaraan teman sebaya buku porno, tayangan filem di televisi atau video, celotehan tukang obat dan cerita dari kedai kopi tentang seks secara terpenggal-penggal. Seperangkat nilai dan norma tentang seks tersebut terbentuk melalui proses pergaulan.

Pekerja anak jermal cenderung longgar terhadap nilai dan norma kehidupan. Mereka tidak pernah melakukan kegiatan ritual keagamaan. Ucapan yang dilontarkan sehari-hari cenderung jorok dan kurang sopan. Demikian juga dengan sikap mereka terhadap orang asing. Latar belakangnya ialah karena mereka tidak dididik oleh orang tua atau guru mereka saat berada di darat. Para pekerja anak jermal belajar dari teman-teman dan orang dewasa, baik pada saat mereka ada di darat maupun melalui pembicaraan antar individu di jermal.

Bagi yang beragama Islam, mengerjakan rukun Islam dan mendengarkan ceramah agama tidak dilakukan. Aktivitas kerja yang padat dan tidak terdengarnya panggilan azan di jermal membuat mereka lupa beribadah. Begitu juga dengan mereka yang beragam Kristen. Mereka tidak lagi bisa ke gereja atau beribadah sesuai dengan ajaran agamanya.

Pekerja anak jermal cenderung sensitif untuk mengekspresikan apa pun hal-hal yang mereka lihat dari televisi, filem, dan kejadian-kejadian di darat.

Lebih dari itu, seperangkat nilai mereka buat berdasarkan persepsi dan pengalaman selama bekeja di jermal, yang berbeda satu dengan lainnya. Oleh karenanya, setiap individu mengidentifikasikan dirinya menurut nilai mereka sendiri.

Sigmund Freud, seorang psikoanalis terkenal, dalam sebuah telaahnya pernah membuat pernyataan bahwa sejak seorang anak dilahirkan ke muka bumi, ia telah diberikan rasa tentang seks. Pemahaman Freud akan hal ini berpijak pada pandangan yang dianggapnya bahwa seks adalah sebentuk daya hidup yang dimiliki oleh setiap manusia. Freud menyebut daya hidup itu dengan istilah libido sexualis (Wirawan, 1981).

Berkaitan dengan ini, aspek perilaku seksual pekerja anak jermal berbeda dengan anak-anak yang lain. Penelusurannya dapat dimulai dari pendekatan intens bagaimana pekerja anak jermal memberikan jawaban atas rangsangan seksual yang mereka alami.

Dalam usaha memahamai perlaku seksual mereka ini, ditempuh cara observasi. Dilakukan penggalian, pengalaman dan pengamatan dengan melihat perilaku orang, memberikan arti pada perilaku dan mencari penyebab atau latar belakang timbulnya perilaku tersebut. Observasi dilakukan melalui tahapan pengamatan, wawancara, dan menganalogikannya.

Dari hasil observasi yang dilakukan, terlihat bahwa manusia dengan tindakan-tindakannya, ada yang mudah dan ada juga yang sulit dilihat dan hanya diketahui dari akibat perbuatan yang dilakukannya. Perilaku yang mudah dilihat dan tidak mudah dilihat dari luar di bagi dalam dua kategori. Pertama, perilaku tertutup (covert behavior), mencakup aspek-aspek mental, antara lain persepsi, ingatan, dan perhatian (perception, attention dan memory). Kedua, perilaku terbuka (overt behavior), mencakup perilaku yang dapat langsung dilihat.

Perilaku terbuka diketahui dengan mengamati perilaku yang secara sadar dilakukan oleh pekerja anak jermal serta melihat pada adanya gerakan reflektoris yang muncul di luar kesadaran.

Perilaku yang overt (tidak terlihat/terselubung) terlihat dari aspek kognitif yakni pencarian pengertian perilaku yang dilakukan oleh subjek penelitian dengan merujuk pada adanya penyadaran, melalui proses penginderaan terhadap rangsangan dan interprestasi yang diberikan.

Di sini subjek digali untuk memberikan reaksi dengan memberikan arti dan mengingat perilaku yang pernah diperbuatnya. Perilaku tertutup ini juga digali untuk melatih emosi ketika terdapat penyadaran terhadap isi perangsangnya yang tampil dari perasaan dan suasana di dalam diri.

Bila dirinci, perilaku seksual para pekerja anak jermal adalah sebagai berikut :

1. Onani/Masturbasi

Onani umumnya dilakukan dengan cara meremas-remas penis dengan tangan sendiri, namun ada juga yang beronani dengan cara memakai sarana atau alat lain. Seperti disebut oleh salah seorang pekerja anak jermal, bahwa ia melakukan onani dengan menggunakan seekor ikan pari yang beranus, yang dianggap menyerupai vagina. Onani dilakukan tidak pada waktu bersamaan, namun biasanya dilakukan pada malam hari ketika dirinya terangsang dan pada saat di jermal tidak ada kegiatan.

2. Menunjukkan Kemaluan kepada Teman Sebaya.

Selama bekerja di jermal, para pekerja rata-rata tidak menyukai berbaju lengkap. Kebanyakan mereka hanya bertelanjang dada sepanjang hari. Pada saat bekerja, mereka hanya mengenakan celana dalam (disebut sempak) atau celana jins kumal dan buntung yang telah disobek di bagian paha.

Mandi, buang air kecil, dan buang air besar dilakukan secara terbuka tanpa ada lagi rasa malu-malu. Jermal yang tidak menyediakan fasilitas mandi cuci kakus (MCK) secara permanen membuat para pekerja disana boleh di mana saja melakukan MCK sepanjang dianggap tidak mengotori areal jermal.

Tempat yang biasanya dipilih adalah sudut-sudut tiang bangunan jermal atau mereka membuangnya langsung ke lautan. Buang air besar dapat dilakukan dengan mencangkong di sela-sela tangga jermal.

Sangat terbukanya fasilitas MCK di jermal dan iklim geografis laut yang panas melahirkan perilaku seksual yang cenderung longgar. Para pekerja anak di jermal jadi terbiasa melihat alat kelamin teman-teman sekerja. Kebiasaan ini menjadi kewajaran bagi mereka.

3. Pemujaan terhadap Lawan Jenis dan Sesama Jenis

Usia pekerja anak jermal berkisar 13-15 tahun. Dalam kajian psikologi, usia tersebut dikategorikan dalam masa puber, masa ketika anak memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis, baik secara fisik maupun psikis. Ketertarikan terhadap lawan jenis terlihat dari dialog antara peneliti dengan mereka. Selain lisan, secara tulisan hal itu terungkap dalam coretan dan simbol berupa gambar hati di dinding-dinding jermal atau pahatan di lantai jermal.

Isinya mengutarakan pemujaan mereka terhadap gadis-gadis yang pernah mereka kenal saat berada di darat (di kampung atau di sekolah dulu) atau dengan cara mencoret-coret bagian sensual (bibir, payudara, vagina) dari potret artis yang ditempel di dinding jermal, baik berupa kelender maupun poster yang didapat dari koran dan majalah.

Mulyono (seorang pekerja anak jermal) menunjukkan ketertarikannya pada lawan jenis secara lebih berani. Ia biasa mendatangi rumah prostitusi di darat yang tidak jauh dari lokasi jermal tempat ia bekerja. Ini dilakukannya pada setiap tiga bulan usai penerimaan upah. Ketertarikan terhadap sesama jenis terlihat pada saat pekerja anak jermal saling mengutarakan kekaguman mereka terhadap fisik rekan-rekan sesama pekerja yang dianggap atletis atau berotot, tampan atau memiliki penis yang besar.

Kekerasan Seksual Anak Jermal

Siluet pekerja anak di jermal penuh dengan tindak eksploitatif, penganiayaan, penculikan, serta tingkat bahaya dan risiko alam di lautan, isolasi untuk berkomunikasi. Semua ini sudah barang tentu sulit terpantau pemerintah, masyarakat, dan aparat kepolisian. Masalah pekerja anak jermal bukan sekedar masalah perburuhan. Banyak persoalan yang tersimpan di jermal-jermal itu. Dari investigasi atas kasus-kasus pekerja anak di jermal itu, terdapat fakta bahwa ada anak-anak yang bekerja di luar kebiasaan umum.

Bukan juga hal itu sekedar merupakan pelanggaran hak-hak normatif hukum perburuhan. Kasus tindakan kekerasan, penculikan, penganiayaan, bahkan pembunuhan pekerja anak di jermal merupakan fakta praktek eksploitasi anak yang tidak terbantahkan lagi.

Penyebab terjadinya kekerasan terhadap pekerja anak adalah kesenjangan status sosial antara pekerja anak dan pekerja dewasa, jauhnya lokasi dari pantauan hukum, sistem kerja yang unik, yang tidak bergantung pada ketentuan umum, tetapi bergantung pada potensi ikan.

Hal ini semua menjadi pendorong pekerja anak mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan cenderung eksploitatif. Pekerja anak yang jauh dari kontrol hukum menyebabkan orang yang lebih kuat bisa melakukan apa saja terhadap mereka.

Selain faktor pendorong di atas, satu lagi faktor penyebab timbulnya kekerasan seksual terhadap pekerja anak ialah gairah seksual pekerja dewasa yang tidak tersalurkan. Tidak adanya saluran seksual ini lebih disebabkan peraturan kerja yang sangat ketat. Setiap pekerja hanya dibolehkan pulang setiap tiga bulan sekali. Bagi yang telah berkeluarga, peraturan ini menyebabkan mereka tidak bisa berhubungan seks dengan istrinya. Pekerja anak menjadi sasaran mereka.

Kondisi ini menyebabkan buruh jermal terpuruk dalam lingkaran setan. Kehidupan mereka tidak ubahnya seperti sistem rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Kekerasan yang tampak ke permukaan dari kehidupan di jermal pada dasarnya dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu kekerasan fisik, kekerasan sosial, kekerasan psikologi dan kekerasan seksual.

Karena tulisan ini fokusnya pada kekerasan seksual, maka hanya bentuk kekerasan ini saja yang dipaparkan. Bentuk kekerasan seksual yang seringkali terjadi adalah sodomi yang dilakukan oleh pekerja dewasa terhadap pekerja anak. Kadangkala mandor juga melakukan hal yang sama, namun kuantitasnya kecil. Mandor yang melakukan praktek sodomi biasanya adalah mandor-mandor yang belum menikah, sedangkan yang sudah menikah tidak melakukannya. Bentuk kekerasan seksual lain adalah mempermainkan alat kelamin pekerja anak, yang dilakukan oleh pekerja dewasa. Biasanya mereka memegang alat kelamin lalu meremasnya. Ada juga yang sengaja melakukan praktek onani kepada anak-anak.

Apa yang dialami Ron (pekerja anak jermal) ketika dia disodomi sangat mengiris hati. Ron dipaksa melayani kebuasan Tagor (pekerja dewasa). Malam itu betul-betul merupakan malam yang naas baginya. Tagor yang bertubuh gelap dan kekar mengajak Ron keluar pada saat pekerja lain sedang terlelap. Ron tidak merasa curiga ketika dia terjaga. Namun, betapa terkejutnya ketika Tagor menelanjangi dan mengancam dirinya. Dia mengalami perlakuan yang tidak manusiawi. Selesai disodomi, kemaluannya diremas-remas oleh Tagor.

Kasus yang dihadapi Mulyono (14 tahun) berbeda lagi. Mul, begitu dia biasa dipanggil, tidak bisa berkata apa pun ketika M (pekerja dewasa) memperkosanya (menyodomi).

Selain dua bentuk kekerasan seksual yang disebutkan di atas (sodomi, dan paksaan untuk onani) bentuk lain kekerasan seksual yang sering diterima anak adalah mempermainkan alat kelamin pekerja anak, mempertontonkan alat kelamin pekerja dewasa dan juga penelanjangan secara paksa oleh pekerja dewasa kepada pekerja anak.

Rekomendasi

Penghapusan pekerja anak di jermal mendesak dilakukan. Anak-anak yang kini berada di jermal seyogianya dicarikan tempat yang lebih layak bagi mereka karena situasi dan kondisi di jermal terlalu keras untuk menyeret mereka ke dalam beragam bentuk praktek eksploitasi.

Penghapusan pekerja anak jermal ini perlu didudukkan sebagai program yang segera dilakukan dan diiringi dengan pengawasan yang efektif. Penting juga untuk menyusun satu program yang mampu menyosialisasikan gagasan reproduksi sehat di jermal. Gagasan reproduksi sehat ini dapat dilakukan oleh LSM, pemerintah dan komponen-komponen pengambil kebijakan yang bergerak di sektor publik lainnya, yang dapat memainkan perannya dalam bidang ini.

Departemen Kesehatan diharapkan dapat menjadi ujung tombak program ini melalui kegiatan terjun ke jermal: penyuluhan kesehatan, pemeriksaan, dan pengobatan menjadi penting untuk dilaksanakan. Sosialisasi reproduksi sehat ini khususnya ditujukan kepada para pekerja dewasa dan pemilik jermal. Sosialisasi ini juga bisa diparalelkan dengan menyelipkan isu tentang bahaya PMS dan HIV/AIDS kepada mereka. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun