Cinta itu teka-teki hati yang susah untuk diteliti. Kadang diakhiri dengan jodoh tersanding , kadang dipuasi dengan kecewa yang terlanjur dijalanai bahkan kadang digantung dengan waktu tak berujung.
Aku baru saja menyiram bungan di taman depan. Sudah agak lama tanaman itu tak tersentuh air, menunggu aku yang kelamaan menghitung hari libur. Waktu yang kuhabiskan untuk risetku memang sangat menyita.Kini setelah semua usai kutata semua schedule ku merawat tanaman walau mungkin agak telat dan tertahan musim kering dan panas awan.
Matahari baru saja akan bersembunyi di ufuk barat ketika kulihat kendaraanmu berhenti tepat di samping taman. Kuberikan senyumku kepadamu. Namun matamu tak biasa. Tak ceria dan tak juga bercahaya. Kupersilahkan engkau duduk di kursi teras sambil kuselesaikan siraman terakhirku ke sri rejeki, salah satu tanaman kesukaanku.
Agak lesu engkau menyapa aku. Tak kulihat lagi wajah cantikmu yang bercahaya. Tak kudengar lagi suaramu yang renyah seperti biasa. Engkau berubah sangat di hadapanku.
Bangku tempat kita duduk terasa padat dan tak nyaman untuk bersandar. Saat kau mulai tertunduk dan mendung di matamu tampak menggantung aku bersegera menyediakan pundakku untukmu berkeluh kesah. Ya, engkaulah sahabat cantikku yang selalu datang saat kau perlu dan butuh aku. Tapi aku tak sakit hati, aku rela jadi tumpuan kesahku . Aku rela jadi pundak tempatmu tumpahkan air mata.Â
Ceritapun mengalir tanpa kuminta. Kau katakan tak lagi pedulikan dia yang sudah tak lagi sepaham dalam hal cinta dan perjuangan. Aku tak bertanya. Aku hanya dengarkan. Kau bilang, sudah selayaknya kau pilih satu yang terbaik untuk masa depanmu. Kau ingin lelaki yang bersedia terima kamu apa adanya dan itu bukan dia.Â
Wow. " Lalu siapa? dan kenapa kau bersedih hati bila tak kau kehendaki dia ada di masa depanmu ", tanyaku terheran."Bukannya itu menunjukan kau tak siap dia tinggalkan dan kau tak juga mau meninggalkannya ?", kataku sambil mengernyitkan dahi.
" Tak sesederhana itu untuk menikah. ada banyak hal yang harus dipertimbangkan dan perasaanmu hanya salah satu dari semua pertimbangan itu", kataku melonggarkan kepanikannya.
" Bulan depan dia mau menikah dan itu bukan dengan aku. Padahal aku mendampinginya sekian tahun. Tidakkah dia tahu bahwa aku siap untuk dia selamanya ? Tidakkah itu cukup bukti bahwa aku mencitainya ?", katanya tertahan isak tangis.
" Mungkin dia mendapat hal lain secara tiba -tiba dan yang terpenting sudahkah semua rasa kehilanganmu itu kamu basuh dalam wudhu untuk sholat istikharoh ?" , tanyaku beruntun.
Baiklah sekarang dia diam.Mungkin sedang memikirkan nasehatku atau gundah gulana dengan pikirannya sendiri .....( Bersambung )