Mohon tunggu...
Ahlan Ramadana
Ahlan Ramadana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perpolitikan Hakim di Indonesia

27 Agustus 2017   19:49 Diperbarui: 27 Agustus 2017   19:54 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa yang anda ketahui tetang hakim ? nah.,  apabila kita berbicara tentang hakim semua itu tidak akan luput dari hukum. Dan pastinya  semua pumutusan suatu perkara hukum di tempatkan di meja hijau yang mana hakim memeliki wewenang terbesar untuk memutuskan suatu perkara hukum. Hakim bisa kita analogikakan seperti wasit dan pemain sepak bola apabila seorang pemain tersebut melakakukan pelanggaran berat maupun ringan maka wasitlah yang akan memutuskan nasib seorang pemain tersebut.

Menurut pakar hukum bambang waluyo beliau menyatakan hakim adalah organ pengadilan yang dianggap telah memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan keawajiban dan tanggung jawab  agar hukum dan keadilan itu ditegakkan seadil-adilnya, baik yang berdasarkan tidak tertulis maupun tertulis dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas-asas dan sendi peradilan berdasar tuhan.

Kalau kita lihat pegertian hakim yang dipaparkan oleh Bambang Waluyo, S.H maka dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud hakim olehnya tidak jauh berbeda dengan apa yang tercantum dalam UU No.22 Th 2004, bukankah hakim agung, hakim yang berada dibawah peradilan, dan juga juga hakim konstitusi itu juga merupakan organ pengadilan yang dianggap memahi tentang hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu dapat ditegakkan. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Al.

Wisnu Broto, pendapatnya ialah hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan secara abstrak, bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan yang mana seorang hakim itu memiliki tanggung jawab yang besar sekali dihadapan tuhan kelak di akhirat nantinya. Nah, kalau kita perbandingkan pendapat dari keduanya, secara normatif hakim merupakan institusi yang memiliki kekuasaan kehakiman tertingi yang mencakup Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya sampai ke Mahkamah Konstitusi.

Kalau kita nilai sendiri di negara kita ini masih banyak sekali hakim-hakim yang tidak memiliki jiwa-jiwa keadilan yang mana ketukan palu mereka masih bisa dibeli dan kaum merginal selalu diasingkan dengan keputusannya, sedangkan kaum elit sendiri selalu menjadi pemenang dalam setiap pertarungan keadilan meja hijau. Apakah itu yang dinamakan seorang hakim? Tidak!!! Kita rasa tidaklah pantas seorang tersebut manjadi seorang hakim yang ketukan palu mereka bisa dibeli. hakim yang tidak memiliki jiwa-jiwa keadilan harus kita jeruji di bawah puing-puing yang berpagarkan pagar hitam dengan penuh kegelapan.

Maka dari itu kita harapkan seorang hakim harus berusaha sedemikian rupa sehingga jarak dan diskrepansi antara hukum dan keadilan harus di tegakkan seadil-adilnya dan diminimalisir. Caranya? Ia harus menggali, mengikuti, dan harus memahami nilai-nilai hukum yang jelas dalam masyarakat. Kewajiban ini, terbaca jelas dalam pasal 27 (1), yakni: "hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat". Sekalian amanat itu, memang cukup relevan dengan kondisi perundang-undangan di negeri ini yang dalam hal mempresentasikan jarak yang begitu jauh antara hukum dan keadilan.

Sudah tentu, peraturan seperti itu tidak mungkin menyumbangkan keadilan apapun meski harus ditegakkan secara konsekuen tanpa kepemihakan, yang jelas, kehadiran seorang hakim yang kreatif, menjadi kata kunci menggenapi amanat luhur UU No.14/70 itu. Kebebasan dan kemandirian hakim memiliki satu tujuan yaitu agar dapat menemukan kebenaran dan keadilan hukum. Jika seperti itu, maka hakim selaku wakil tuhan di dunia ini di dalam penegakkan hukum bisa benar-benar terwujud.               

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun