Oleh : Muti*
Tangan terkepal sebagai simbol perlawanan telah diketahui oleh semua orang, tangan terkepal diikuti suara lantang megaphon yakni suara-suara pembela keadilan. Tangan terkepal kini digenggamannya ragam kepentingan penguasa, suara-suara merdu itu menjadi tak bermakna lagi. Fenomena 'tangan terkepal' menjadi identitas kaum kritis ketika mendengungkan kemerdekaan sejatinya ditundukkan di bawah bayang-bayang kemapanan.
Seiring waktu berlalu tangan-tangan terkepal itu berakhir ketika kaum intelektual kritis sebagaimana Syariati,Tan Malaka, Soe Hok Gie, Munir ditelan semesta. Namun, jejak-jejaknya membekas menyelimuti jalan peradaban. Tangan terkepal itu masih terus-menerus menandai pergolakan pemikiran melalui jejak-jejak tulisan telah menyinari kegelapan membabibuta, upaya tangan itu sampai menyelimuti ruang dan waktu, kata demi kata, argumentasi demi argumentasi adalah tanda bahaya untuk kekuasaan.
5 jari terkepal merupakan revolusi holistik tak ada transaksi, mengembalikan modal atau sekedar memperalat semata. Jemari revolusi itu sebagaimana kata orang bijak suatu cara hidup dalam keabadiaan. Kekuasaan dapat menundukkan idealisme namun tak mampu menepis lajunnya 5 jari untuk revolusi yaitu menulis. Negara tak kurang orang pintar, negara hanya kurang orang jujur. Pintar tak selalu kritis, namun kejujuran sudah pasti kritis-reflektif, memaknai pikiran adalah perjuangan tak ada eksploitasi dan hegemoni. Pikiran kritis merupakan dasar utama etika, kejujuran ialah kemampuan etis untuk mendapatkan kebenaran. Kejujuran pikiran terukir dalam setiap kata menjadi keutamaan membendung ragam predator kekuasaan. Keutamaan-keutamaan etis semestinya menjadi fondasi utama dalam melawan.
*Di tulis oleh Muti (Penulis adalah pegiat belajar Filsafat)