Mohon tunggu...
Ahlan Mukhtari Soamole
Ahlan Mukhtari Soamole Mohon Tunggu... Ilmuwan - Menulis untuk menjadi manusia

Perjalanan hidup ibarat goresan tinta hitam yang mengaris di atas kertas maka jadilah penah dan kertas yang memberikan makna bagi kehidupan baik pada diri, sesama manusia dan semesta dan Ketekunan adalah modal keberhasilan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Matinya Nalar dan Kemanusiaan

20 Maret 2019   20:57 Diperbarui: 20 Maret 2019   21:41 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bukan suatu keajaiban manusia bahkan bukan pula suatu keajaiban yang disengaja pada suatu momentum fenomenal khas kelompok tertentu namun pembuktian nyata ketidakberadaban dan ketidakinovasi manusia, bangsa-bangsa dalam rumpun negara yang satu, hal ini membangkitkan kesadaran khas dengan mengakui kita sedang berada pada satu 'kematian massal' yakni kematian nalar, kematian nurani dan kemanusiaan mengapa demikian, sebab keseluruhan kematian itu merupakan kematian yang berantai.

Kematian nalar dan kemanusiaan tak mengenal apakah dia seorang pengemuka Adat (tokoh adat), pemuka Agama (Ulama) atau dia seornag presiden (sebagai kepala Negara) matinya nalar, matinya nurani dan kemanusiaan sebab kedisiplinan emosional dan intelektual begitu pun spritual tak lagi sejalan beriringan, akibat kepentingan-kepentingan yang telah mendominasi.

Sebuah kegaduhan modern yakni (persoalan) nalar merupakan akibat ketidaksanggupan bangsa maupun struktur masyarakat dalam memenuhi kemakmuran aspek pendidikan yang telah mematikan unsur autentik dalam manusia yakni intelektual dan moralitas.

Gerakan-gerakan pembodohan gerakan penindasan dan gerakan kepentingan seolah-olah berangkat dari satu ide konsesus yang mengendalikan beribuan ummat manusia tak hanya struktur negara politik melainkan otak enzim dan campuran bahan kimia dalam tubuh dari sisa-sisa makanan yang dikonsumsi manusia bahkan hasil teknologi bahan yang berasal dari unsur alam besi, perak emas, tembaga yang selain bahan pembuat teknologi menyebar pula dalam tubuh manusia, seolah ini merupakan dinamika terencana massal membuat formulasi baru dalam pembodohan dan mendorong kita dalam kenikmatan-kenikmatan temporal (kesenangan sementara) sehingga implikasinya bangsa ini hidup dan tumbuh ke arah destruktif.

Pada faktor lain yakni politik sekelompok orang ini mewujud dalam perspektif oligark politik yang disemanatkan selalu dengan kelompok kapitalisme dari bangsa sendiri yang mempengaruhi sistem politik demokrasi bahkan sistem struktur masyarakat yang hierarkis.

Pada tataran ini tentu nalar yang terkonstruksi yakni suatu upaya pemilahan mendikotomikan masyarakat dalam dua kelompok yakni yang kaya dan yang miskin yang kaya dapat menikmati secara langsung produk kapitalisme butik, distro, restauran dan rumah makan mewah lainnya sedangkan jarak 'miskin' dibuat tak sanggup memenuhi produk hasil kapitalisme dan konstelasi ini berlangsung hingga pasar diupayakan dimenangkan oleh kapitalisme.

Pada tataran politik cerminan rusaknya demokrasi dapat saja terlahir dari klasifikasi orang kaya tersebut sebab hanya mengandalkan uang sebagai bentuk politik money sedangkan urusan poltik sesungguhnya yang autentik dan sungguh-sungguh terlahir dari perjuangan yakni disuguhkan oleh rakyat miskin atau jelata (miskin materi bukan berarti miskin moral melainkan miskin materi namun kaya moral ketimbang miskin materi namun miskin pula moral sangatlah memilukan, begitu pun kaya materi namun miskin moral dan intelektual sangat memilukan dan memalukan akan tetapi kaya materi dan kaya intelektual dan moral dapat dikatakan sangat bermanfaat).

Perubahan dramatis akhir-akhir ini di mana lebih banyak sekelompok orang yang mati nalarnya, nurani dan kemanusiaan sangatlah memilukan mereka terlahir dari stratifikasi elitis politik Indonesia (yang elektoral) melalui verivikasi politik secara prosedural namun krisis akan pengetahuan inklusif politik yang refleksi berdasarkan pemandangan ilahi dan intelektualis, perdebatan yang tak ilmiah dan filosofis akan selamanya mengahancurkan dinamika bangsa dan negara, sehingga pula berpengaruh pada pembodohan berjangkar dan persis penyebar 'hoax kebodohan' hal ini sedang terjadi di negeri ini akhir-akhir ini yang ditunjukan oleh kader politik

Partai besar mulai dari kasus korupsi dan narkoba, yang secara tak langsung menunjukan bahwa prosedural kebijakan politik secara elektoral semestinya diperbarui untuk menemukan format baru yakni menciptakan politik, politik yang cerdas memiliki nalar konstruktif, kritis, nurani dan kemanusiaan guna dapat mengupayakan mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.

* Penulis adalah Alumni Universitas Karya Dharma Makassar/ Pegiat Belajar Filsafat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun