Ada satu mimpi yang saya simpan rapat-rapat bertahun-tahun lamanya: memiliki rumah sendiri di kawasan Surabaya Timur.
Mimpi yang mungkin terdengar sederhana bagi sebagian orang, tetapi bagi saya, ia adalah simbol dari pencapaian, ketenangan, dan keberhasilan kecil dalam hidup.
Setiap kali melewati deretan perumahan kelas menengah di kawasan itu, hati saya selalu berbisik, "Kapan saya bisa punya rumah di sini?"
Sebuah pertanyaan yang tak pernah terucap keras, namun terus bergema di kepala---seperti doa yang lirih namun konsisten, yang saya kirimkan diam-diam kepada langit setiap hari.
Tahun 2013 menjadi titik balik dalam hidup saya. Saya mengambil keputusan yang cukup berani: mengundurkan diri dari pekerjaan di sebuah surat kabar yang merupakan bagian dari grup Jawa Pos.
Keputusan itu bukan karena saya sudah merasa mapan secara finansial. Justru sebaliknya.
Saya ingin menata ulang arah hidup, keluar dari zona nyaman, dan mencoba menjemput impian yang selama ini hanya saya pandang dari kejauhan.
Sebelum titik itu, saya bekerja di tiga tempat berbeda dalam kurun waktu dua tahun. Setiap gaji yang saya terima saya sisihkan sedikit demi sedikit.
Mungkin jumlahnya tak seberapa, tapi setiap rupiah mengandung harapan yang besar.
Di balik jam kerja yang panjang dan melelahkan, saya terus memelihara keyakinan bahwa suatu hari saya bisa memiliki rumah sendiri.