Sejak tahun 2011, saya memiliki kesempatan berharga untuk bergaul dan berinteraksi dengan ratusan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Jawa Timur.
Dari perjalanan ini, saya menyaksikan bahwa UMKM bukan sekadar istilah ekonomi. Ia adalah wajah dari ketangguhan, harapan, dan kadang juga keputusasaan rakyat kecil yang berjuang mempertahankan kehidupan di tengah keterbatasan.
Para pelaku UMKM yang saya temui berasal dari latar belakang pendidikan yang sangat beragam. Mulai dari mereka yang hanya menyelesaikan pendidikan dasar hingga lulusan perguruan tinggi.
Mereka bukanlah kelompok homogen. Mereka punya kisah unik masing-masing, tetapi satu hal yang sama: memutuskan melangkah di jalur UMKM karena dorongan kebutuhan dan situasi.
Dari pengamatan saya selama lebih dari satu dekade, setidaknya ada tiga motif utama yang mendorong seseorang untuk menjadi pelaku UMKM.
Pertama, banyak yang memulai usaha karena faktor coba-coba. Mereka melihat teman atau tetangga yang dianggap berhasil memperoleh penghasilan dari berjualan makanan ringan, kerajinan tangan, pakaian, atau produk lokal lainnya.
Dengan modal nekat dan inspirasi dari lingkungan sekitar, mereka pun ikut mencoba peruntungan, meskipun seringkali tanpa perencanaan dan pengetahuan bisnis yang memadai.
Kedua, sebagian besar pelaku UMKM berangkat dari keterbatasan pilihan. Kesulitan mencari pekerjaan di sektor formal membuat mereka 'dipaksa' untuk bertahan hidup lewat jalur informal.
Ini banyak terjadi pada masyarakat dengan latar pendidikan rendah, atau mereka yang tinggal di daerah dengan peluang kerja yang minim.
UMKM, dalam konteks ini, menjadi ruang bertahan hidup. Bukan pilihan yang lahir dari mimpi, melainkan dari keterdesakan.