Sabtu pagi, 17 Mei 2025. Langit mendung menggantung rendah di atas Ponorogo, seolah memberi isyarat bahwa perjalanan hari itu tidak akan mudah.Â
Bersama Dr. Suli Da'im (anggota Komisi E DPRD Jawa Timur) dan Dr. Hasan Ubaidillah (dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo), saya memulai perjalanan menuju sebuah kecamatan di ujung selatan Ponorogo: Ngrayun.
Nama Ngrayun barangkali masih asing bagi banyak orang. Bahkan bagi sebagian warga Jawa Timur sendiri. Terletak di daerah perbukitan yang menghampar luas di selatan kota Ponorogo, Ngrayun adalah kawasan yang menyimpan pesona tersembunyi di balik medan yang menantang.
Ngrayun bukanlah daerah biasa. Terletak di kawasan Pegunungan Kidul, wilayah ini dikenal dengan lanskap perbukitan kapur yang memanjang di selatan Pulau Jawa.
Jalanan di Ngrayun meliuk-liuk, penuh tanjakan ekstrem, dan dikelilingi oleh hutan lebat serta kampung-kampung kecil yang tersebar di balik bukit. Catatan Wikipedia, wilayahnya mencapai 173,08 km, dan menjadikannya sebagai kecamatan terluas di Ponorogo.
Namun, luasnya wilayah ini tidak sebanding dengan infrastruktur jalan yang tersedia, terutama di kampung-kampung terpencil yang masih sulit diakses, apalagi saat musim hujan tiba.
Kondisi geografis dan topografi Ngrayun turut membentuk pola hidup masyarakatnya. Lahan pertanian yang tersedia terbatas, sehingga sebagian besar dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan dan kehutanan.
Banyak kawasan hutan dikelola secara mandiri oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) atau di bawah pengawasan Perhutani. Komoditas utama seperti porang, pinus, sengon, dan mahoni menjadi penopang ekonomi warga.
Menariknya, pinus yang tumbuh subur di wilayah ini bukan sekadar kayu, tetapi juga disadap getahnya untuk menghasilkan gondorukem dan terpentin. Bahan baku penting dalam industri.
Meski memiliki wilayah yang luas, Ngrayun hanya memiliki 11 desa, yang tersebar dalam banyak dukuh atau kampung terpencil.