Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menikmati Hidup, Bukan Mengejarnya

16 Mei 2025   20:42 Diperbarui: 16 Mei 2025   20:42 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: shutterstock

Sore itu, di sebuah kantor di lantai tinggi gedung pencakar langit, suasana terasa lengang. Seorang atasan melangkah pelan menuju meja staf mudanya, yang masih sibuk di balik layar komputer. Tanpa senyum, dengan suara tegas namun dingin, ia berkata:

"Maaf, saya tak bisa datang ke pernikahanmu. Tapi... kenapa kamu buru-buru menikah?"

Kalimat itu menggantung di udara, menyesakkan. Ucapan yang terdengar sederhana, namun sarat makna---seolah mengingatkan bahwa posisi si anak muda masih jauh dari puncak, masih staf biasa, dan mungkin... belum waktunya mengambil keputusan sebesar itu.

Si anak muda hanya mengangguk pelan. Tidak membantah. Tidak pula membenarkan. Dia tahu, mungkin ada maksud baik di balik kalimat sang bos.

Tapi ada juga rasa ganjil yang menyesakkan dada. Kalimat sang bos kemudian berlanjut dan semakin mengendap dalam pikirannya.

"Bekerja keraslah sampai kamu mendapatkan semua yang kamu impikan. Bekerja keras, lalu sukses, kaya, dan baru setelah itu kamu akan bahagia."

Kalimat itu terus terngiang. Lama. Tidak terlupakan. Seakan menjadi dogma yang diam-diam tertanam di kepalanya: kerja keras, kaya, bahagia. Dia mulai ragu: benarkah kebahagiaan adalah sesuatu yang harus ditunda, dikejar setelah lelah tak bersisa?

Tahun demi tahun berlalu. Sang anak muda tetap bekerja. Kadang ia mengingat ucapan bosnya saat melewatkan makan siang demi target, saat melewatkan waktu bermain bersama anak pertamanya demi lembur.

Tapi dia memilih jalannya sendiri. Menikah di usia muda. Hidup sederhana tapi penuh tawa. Tak selalu cukup, tapi cukup bahagia.

Lima belas tahun kemudian, kabar itu datang seperti angin dingin di siang yang panas. Bosnya dirawat di rumah sakit. Butuh transplantasi hati. Satu-satunya cara agar hidupnya bisa diselamatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun