Sore itu, di sebuah kantor di lantai tinggi gedung pencakar langit, suasana terasa lengang. Seorang atasan melangkah pelan menuju meja staf mudanya, yang masih sibuk di balik layar komputer. Tanpa senyum, dengan suara tegas namun dingin, ia berkata:
"Maaf, saya tak bisa datang ke pernikahanmu. Tapi... kenapa kamu buru-buru menikah?"
Kalimat itu menggantung di udara, menyesakkan. Ucapan yang terdengar sederhana, namun sarat makna---seolah mengingatkan bahwa posisi si anak muda masih jauh dari puncak, masih staf biasa, dan mungkin... belum waktunya mengambil keputusan sebesar itu.
Si anak muda hanya mengangguk pelan. Tidak membantah. Tidak pula membenarkan. Dia tahu, mungkin ada maksud baik di balik kalimat sang bos.
Tapi ada juga rasa ganjil yang menyesakkan dada. Kalimat sang bos kemudian berlanjut dan semakin mengendap dalam pikirannya.
"Bekerja keraslah sampai kamu mendapatkan semua yang kamu impikan. Bekerja keras, lalu sukses, kaya, dan baru setelah itu kamu akan bahagia."
Kalimat itu terus terngiang. Lama. Tidak terlupakan. Seakan menjadi dogma yang diam-diam tertanam di kepalanya: kerja keras, kaya, bahagia. Dia mulai ragu: benarkah kebahagiaan adalah sesuatu yang harus ditunda, dikejar setelah lelah tak bersisa?
Tahun demi tahun berlalu. Sang anak muda tetap bekerja. Kadang ia mengingat ucapan bosnya saat melewatkan makan siang demi target, saat melewatkan waktu bermain bersama anak pertamanya demi lembur.
Tapi dia memilih jalannya sendiri. Menikah di usia muda. Hidup sederhana tapi penuh tawa. Tak selalu cukup, tapi cukup bahagia.
Lima belas tahun kemudian, kabar itu datang seperti angin dingin di siang yang panas. Bosnya dirawat di rumah sakit. Butuh transplantasi hati. Satu-satunya cara agar hidupnya bisa diselamatkan.