Ada banyak cara seorang suami meredakan duka hati istrinya. Teman saya, seorang lelaki yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat, punya cara yang tak biasa namun begitu dalam maknanya.
Setiap kali sang istri larut dalam kesedihan, kecewa, atau diliputi rasa marah terhadap dunia, dia tak langsung menasihati atau menghibur dengan kata-kata manis. Ia justru mengajak istrinya ke rumah sakit.
Bukan untuk berobat. Tapi untuk melihat. Merasakan. Menyaksikan kehidupan dari sisi yang sering kita lupa: penderitaan yang sunyi.
Ia menggandeng tangan istrinya dan berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong rumah sakit umum. Di sana, mereka memasuki ruang perawatan kelas biasa.
Tidak ada harum bunga. Tidak ada musik pengantar tidur seperti di rumah sakit mewah.
Yang ada hanyalah aroma campuran antara obat antiseptik, udara lembap, dan napas berat manusia yang menggantung di sela-sela waktu.
Di ruang itu, ada pasien lanjut usia yang dipenuhi selang di kedua lengannya. Di sisi lain, seorang anak kecil terbaring lemah, tubuhnya kurus, dipenuhi bintik merah. Ibunya duduk di lantai, tertidur bersandar di dinding dengan tangan masih menggenggam tangan mungil anaknya.
Di sudut ruang, terdengar erangan pelan seorang pria yang berusaha menahan rasa sakit tanpa ingin mengganggu yang lain. Mesin infus berdetik perlahan, mengalirkan cairan bening yang menyelamatkan hidup, namun tak menjanjikan kesembuhan segera.
Ada tangisan. Ada doa yang dibisikkan lirih. Ada perawat yang berjalan cepat sambil mendorong troli obat, mencoba mengimbangi jumlah pasien yang jauh lebih banyak dari tenaga medis yang tersedia.
Di sinilah, kata teman saya, hati manusia menjadi jernih kembali. Ketika kita melihat ada yang lebih sengsara dari kita. Lebih kesepian, lebih bergantung pada pertolongan orang lain hanya untuk bisa menarik napas esok hari. Kita diingatkan betapa remehnya luka yang kita kira begitu besar.