Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Pemilik Warung Dewi yang Menemukan Keajaiban Zakat dan Sedekah

11 Februari 2025   15:52 Diperbarui: 11 Februari 2025   17:48 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gatot Tjatur Prasetyo di depan warung miliknya. foto: dok/pri

Di sebuah sudut kota, ada sebuah warung sederhana yang selalu ramai dengan aroma masakan khas. Warung Dewi, namanya. Lokasinya di Jalan Darmokali. Warung ini bukan sekadar tempat makan, melainkan saksi perjalanan panjang keluarga dalam mempertahankan cita rasa dan amanat seorang ibu.

Tahun 1962, Sumirah dan Sirun memulai usaha kecil mereka. Awalnya, mereka menjual gorengan seperti pisang goreng, ote-ote, tahu, dan lainnya. Dengan rasa yang khas dan harga terjangkau, dagangan mereka mulai dikenal di kampung sekitar. Seiring waktu, usaha mereka semakin berkembang. Pelanggan dari luar kampung mulai berdatangan.

Ketika mereka tiada, usaha warung itu dilanjutkan oleh putrinya, Dewi, pada tahun 1978. Dewi paham soal meracik bumbu karena lama ikut membantu Sumirah. Dibantu suaminya, Waskat, Dewi berhasil membesarkan warung dengan menu andalan rawon dan pecel. Dari sinilah, orang-orang yang makan di sana menyebutnya "Warung Dewi".

Berkat kegigihannya, nama Warung Dewi semakin dikenal. Rasa rawon yang khas dengan kuah gurih pekat serta pecel dengan bumbu kacang yang legit membuat pelanggan terus berdatangan. Mereka juga mulai menerima pesanan untuk acara hajatan dan selamatan.

Anak-anak Dewi dan Waskat pun ikut membantu. Namun, yang paling intens adalah anak bungsunya, Gatot Tjatur Prasetyo. Sejak usia 10 tahun, Gatot sudah membantu Dewi di warung tersebut. Gatot tumbuh dengan melihat dan merasakan langsung bagaimana ibunya meracik bumbu, memilih bahan terbaik, dan melayani pelanggan dengan sepenuh hati.

Setiap pagi sebelum sekolah, Gatot sudah berkeliling ke Pasar Wonokromo yang berjarak 1,5 kilometer dari warung. Ia membawa catatan belanjaan dari ibunya. Kadang, jika lelah, ia naik becak.

"Tapi lebih sering, ia memilih berjalan kaki agar uang becak bisa ia gunakan untuk jajan," tutur Gatot.

Gatot mengaku belajar otodidak hingga akhirnya paham betul bumbu-bumbu yang digunakan dalam setiap masakan warungnya. Ia sering mencoba berbagai racikan bumbu, mengingat-ingat cara ibunya meracik rawon dan pecel, serta bereksperimen untuk menemukan cita rasa yang khas.

Berkat ketekunannya, Gatot akhirnya berhasil mempertahankan rasa autentik warung keluarganya, bahkan menyesuaikan beberapa menu agar lebih sesuai dengan selera pelanggan masa kini.

Selain menjaga kualitas rasa, Gatot juga mulai memperhatikan cara penyajian dan kebersihan warung. Ia mengganti peralatan masak yang sudah usang, memperbarui meja dan kursi, serta menata ulang dapur agar lebih efisien.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun