***
Antara optimisme dan pesimisme. Itulah yang saya rasakan ketika merespons upaya Pemerintah Kota Surabaya bakal menghidupkan kawasan Peneleh sebagai  kawasan wisata.
Kenapa? Karena pengembangan kawasan Peneleh sebagai wisata heritage ini sudah lama diupayakan Pemerintah Kota Surabaya. Kala itu, Wali Kota Eri Cahyadi masih menjabat kepala Bappeko. Â Bahkan, konsep revitalisasi Peneleh itu sudah dipublikasikan.
Namun hingga sekarang hal itu tak terwujud. Makam Belanda Peneleh itu tetap tak terawat. Lingkungan di sekitarnya masih kumuh. Pernah sekali ada perbaikan, namun hasilnya malah blunder.
Kuncarsono Prasetyo, inisiator Begandring, mengungkapkan, Pemerintah Kota Surabaya pernah melakukan gerakan revitalisasi Makam Peneleh. Namun yang terjadi sesungguhnya hanya kerja bakti. Komsepnya tidak jelas.
Dalam kegiatan itu, Kucarsono menyampaikan protes keras. Karena sejumlah artefak sengaja dihilangkan, sebagian dibikin tidak berfungsi. Struktur atap makam-makam bersejarah yang diresmikan pada 1 Desember 1847 itu malah dibongkar.
"Sebanyak 21 atap cungkup kompleks pemakaman itu raib dari tempat asalnya. Puluhan artefak-artefak kuno itu sengaja dibongkar tanpa alasan kesejarahan yang jelas," terang Kuncarsono.
Tak hanya itu, pagar raksasa dari besi di gerbang utama juga sengaja dilepas. Dia tidak bisa beroperasi karena rel 'kupu tarung' kuno di bawah pagar sengaja ditimpa pavingstone. Pagar ini dibuat tidak berfungsi.
Kata Kuncarsono, hilangnya puluhan struktur atap atau cungkup alias kijing yang menaungi hampir setiap makam di sini cukup serius. Sebab inilah ciri kas utama makam Belanda terluas di Indonesia. Struktur bangunan makam-makam plus cungkup ini sejak lama menjadi laboratorium sejarah desain di Indonesia.
"Artefak ini memotret 'perkawinan' kultur Eropa dan Jawa dalam sejarah seni desain dan arsitektur. Menjadi bukti kebudayaan 'gado-gado' bernama kultur Indisch yang berkembang jaman kolonial pertengahan hingga awal tahun 1900-an," jlentreh Kuncarsono.
Untuk diketahui, makam-makam Eropa berkijing ini menjadi satu-satunya yang tersisa di Indonesia.