Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Karma

21 Juni 2020   22:06 Diperbarui: 21 Juni 2020   22:08 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.remotivi.or.id

"Aku sudah bersumpah Giz, tak mungkin kutarik sumpahku," Farah melanjutkan tanpa beban.

"Kenapa Ibu sangat keras hati seperti itu! Apa ibu sadar kalau yang Ibu ucapkan itu keliru," ucap Gizka mencoba membela diri.

"Tidak! Aku sadar mengucapkan itu. Aku tak mungkin menarik sumpahku, sampai kapan pun, Giz!"

Tuah itu memang pahit. Tapi kenyataan tersebut tak bisa disanggah oleh Farah. Dia tak mungkin menerima anak itu dengan satu alasan: karma. Ada hukum sebab dan akibat perbuatan manusia yang bisa mendatangkan bala dan duka lara. Itu keniscayaan. Manusia tak boleh bersentuhan dengan karma. Apa pun bentuknya. "Kamu harus sadar itu, Giz," cecar Farah serius.

"Bu, Tuhan itu Maha Pengampun, Maha Pengasih. Kepada siapa pun hambaNya, Tuhan pasti memberi ampunan. Apalagi kepada manusia, yang mudah alpa dan berbuat khilaf," Gizka dengan suara datar memberi alasan.

"Tidak Giz. Persoalannya tidak sesederhana itu. Ini karma anakku. Ini bukan soal pengakuan, tapi perbuatan. Ini juga bukan soal cinta, tapi penghianatan. Tidak bisa dihapus, karena...itu akan ada ganjarannya, Nak. Berat sekali!" kelit Farah masih dengan mimik serius.  

Sikap Farah memang tidak mudah goyah. Bagi dia, keyakinan mutlak harus dijaga. Manusia tanpa keyakinan seperti pohon tanpa akar, begitu ia selalu menasihati anak-anaknya. Makanya, ia selalu memegang teguh keyakinannya atas bahaya azab dari perbuatan yang tidak diriodloi Tuhan.

"Menodai keyakinan sama halnya meruntuhkan bangunan. Tatkala itu semua itu ambruk, manusia akan jatuh," Farah menegaskan, "dan tidak akan ada lagi yang memedulikan kenistaanmu."

Ketika petaka mendera Gizka, tak satu pun orang bisa meluluhkan hati wanita keturunan Arab-Jawa itu. Farah masih yakin bayang-bayang azab yang selalu menghantui keluarganya kalau sampai ia menerima anak Gizka.

Sampai suatu saat, Irfan, paman Gizka, mengetahui prahara itu. Dia pun berempati. Irfan, yang rumahnya hanya dua blok dari rumah Gizka, rela merawat bayi hasil hubungan gelap itu. Walau sejatinya, Gizka tak pernah rela menyerahkan anaknya.

Irfan membeber belas kasih. Dia sudi karena dia tahu, anak tetap terlahir suci, seperti kapas. Tidak ada hak manusia mengklaim anak pembawa dosa turunan. Begitu pun tidak ada hak manusia memutuskan kafir atau beriman, berhak masuk surga atau neraka. "Jangan sekali-kali kamu mengambil hak Tuhan," tutur Irfan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun