Adzan dhuzur tiba-tiba membuyarkan keterpanaan Gizka. Dia melirik jam dinding, pukul 11.45. Gizka ingin beranjak, tapi ia tak kuasa melepas pandangannya terhadap sang bocah. Sekelebat, bocah itu menyusup pergi...
***
Hari-hari Gizka kini benar-benar sepi. Sudah sepekan ini ia kembali ke rumah ibunya, setelah hampir tiga tahun ia 'mengasingkan' diri ke Pujon, Malang. Gizka berjuang menghapus masa lalu yang kelam. Mengurung diri di kamar jadi pelarian atas kesedihannya selama ini. Gizka membunuh waktu dengan menyendiri. Semua diakui dijalaninya dengan penuh kesadaran. Meski akhirnya, kesia-siaan yang ia dapatkan.Â
Perjuangan sungguh berat. Apalagi sekarang, tiap pagi, Gizka punya jadwal tetap: duduk di depan jendela menunggu kehadiran bocah itu. Berapa pun lamanya. Gizka acap mencibir alam bila hujan menghajar bumi. Hujan baginya adalah malapetaka. Sebab, dia bakal tak bisa menatap paras mungil yang setiap saat melintas di otaknya.
 "Sudahlah Giz, tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Biarkan anak itu pergi, biarkan sayang," suara Farah mengangetkan jantung Gizka. Perempuan berparas lonjong berambut sebahu itu tiba-tiba nongol, lalu tangannya menyergap pundak Gizka.
"Aku berdosa Bu, bordosa! Ia anakku, ia mirip sekali dengan Mas Bram," suara berat Gizka meluncur. Seketika, paras elok Brahmantyo melintas tajam di balik kecemasan Gizka. Lelaki yang amat dicintainya yang sampai kini tak kunjung mengobati amuk hati yang merindu.
"Tak mungkin kulupakan itu, Bu. Ia sungguh memesona, saya sungguh mencintainya."
"Sadarlah Giz, itu tak akan terjadi. Sampai kapan pun tak akan terjadi. Dia tak mungkin kau miliki," sergah Farah.
Memang, dosa itu sungguh berat. Cinta yang dirajut Gizka bersama Brahmantyo, empat tahun lalu, telah membawa noktah hitam. Benih dalam rahim Gizka pada ujungnya membawa petaka mendalam. Gizka diusir karena telah menodai kehormatan orang tuanya.
Aib ini terlanjur melebar. Kedua orang tua Gizka takut bala menimpa bila nekat membesarkan anak itu. "Anak haram itu akan membawa bencana, Giz. Kamu harus tahu itu. Apa nggak kasihan ayahmu yang sekarang lagi merintis usaha batu bara yang mulai maju? Apa kamu rela semuanya akan berantakan!"
Kala itu, Gizka juga dihimpit kekalutan sikap orang tua Brahmantyo. Mereka takut derajat kepangkatannya tercoreng. Ini bila skandal asmara Brahmantyo mencuat. Apalagi kalau sampai terbongkar keberadaan anak di luar nikah. Â Â