Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gunting Dukun Bayi

12 Desember 2019   12:14 Diperbarui: 12 Desember 2019   18:15 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jenazah (iStockphoto)

Saya mau dibawa ke mana, Pak?"

"Mbok, harus ikut ke kantor polisi!"

"Lha, saya salah apa, Pak?"

"Pokoknya Mbok ikut saja! Urusannya nanti di kantor polisi, ya!

Mbok Parli kalut. Belum sempat bibirnya menganga, polisi itu menyela, "Sudah Mbok, sudah. Sampeyan ikut saja!"

Dua polisi itu lalu bergegas memborgol tangan Mbok Parli. Tanpa daya, tanpa perlawanan. Mbok Parli hanya terbengong. Kedua tangannya berasa mengawang. Dingin sekali. Janda beranak dua itu, tanpa perlawanan, digelandang polisi. Naik mobil patroli. Polisi juga mengusung sebuah kotak yang dibungkus kain batik cokelat tua. Bungkusan itu diambil dari kamar Mbok Parli, di lemari pakaiannya.

Malam itu, ba'da Isya, benar-benar jadi malam nahas bagi Mbok Parli. Malam paling buram selama hidupnya. Hatinya benar-benar berbuncah. Dengan tangan disatukan borgol, Mbok Parli amat gugup. Bingung.

Di depan rumah sudah menanti para tetangga Mbok Parli. Cukup sesak. Sebagian tetangga tak percaya dengan sosok perempuan yang dilihatnya.

"Mbok Parli ditangkap polisi..!" seru mereka.

Wanita berambut panjang dan terlihat memutih itu, kini menghadapi perkara besar. Beragam ocehan keluar tanpa kendali dari orang-orang yang bergerombol di situ.

"Mbok Parli mau dipenjara. Dia katanya membunuh," Lukman, tetangga Mbok Parli, nyeletuk.

"Kamu tahu dari mana, Man?" sergah beberapa orang penuh kecurigaan.

Komentar warga terus bersahut-sahutan. Riuh sekali. Sungguh, tak terkendali.

"Itu, Pak polisi yang pakek jaket hitam. Dia itu polisi, tapi pakaian preman."

Lukman menunjuk seorang pria berbadan subur, berkumis. Pria itu sejak dua hari lalu mengorek keterangan dari kita-kita ini, ujarnya.

Semula, imbuh Lukman, tak ada yang curiga. Namun dari pertanyaan demi pertanyaan yang terlontar, beberapa orang mulai tak tenang.

Lukman sangat karib dengan kata-kata sandi yang biasa dipakai polisi. Dia tahu dari para alap-alap (pencuri) motor, teman-temannya. Para alap-alap dulunya banyak yang tinggal kampung itu. Mereka kini banyak raib. Sebagian ditembak polisi hingga tewas.

Entah disengaja atau tidak, lewat telepon selulernya, pria itu
beberapa kata berucap kata-kata sandi-nya. Seperti taruna (kejadian) dan Solo-Bandung (menunggu), delapan enam (dimegerti).

***

Di atas mobil patroli, Mbok Parli tak bisa berucap kata-kata. Matanya menerawang. Berkaca-kaca. Mulutnya terus komat-kamit. Berzikir dan beristighfar. Dua orang polisi berperawakan kekar berpangkat sersan satu, mengimpitnya. Rapat sekali. Bau apek ketiak kedua polisi sungguh menyengat hidung.

"Pak, saya ndak pernah membunuh. Itu fitnah. Fitnah, Pak!" Mbok
Parli merintih, menatap melas dua polisi yang berada di samping
kirinya.

Kedua tangan Mbok Parli yang diborgol ikut meremas paha kanan polisi itu. Sang polisi hanya membisu, menoleh, lalu berpaling lagi.

"Apa saya akan dihukum mati?" desir kegalauan dan ketakutan berkecamuk di hati Mbok Parli. Ia berasa berjalan di lorong panjang. Udara dingin makin menusuk balung. Hati Mbok Parli terasa remuk.

Dia pun berdoa, "Gusti Allah, selamatkan aku. Duh Gusti, ampuni hambaMu. Berat Gusti, berat" Suara batin itu terasa jauh. Sesenyap malam yang terus ditinggalkan bulan.

Mobil patroli terus melaju. Makin kencang. Hingga sampai ke sebuah pelataran cukup luas. Pelataran itu tak lain markas polisi.

Di markas itu, puluhan orang lalu lalang. Kebayakan orang-orang bermasalah dan berperkara. Mbok Parli berjumpa seribu satu wajah. Ada yang sedih, ada yang sumringah. Tak sedikit yang menatapnya penuh curiga.

Di pintu utama, Mbok Parli menatap sosok remaja usia sembilan belas tahun. Ia terus mengerang kesakitan saat dibopong dua orang polisi. Paha kirinya dibalut perban. Rambutnya dicukur gundul serampangan. Nampak jelas rembesan darah segar dari balutan perban putih. Dia, Mat Tobil (julukannya), penjarah perhiasan. Dia sudah lama jadi TO (target operasi) polisi. Semalam, ia ketangkap saat bersetubuh dengan wanita simpanan di pematang sawah setelah hampir setahun jadi buron.

Mbok Parli terus berjalan. Jantungnya menggigil. Kali ini
ia terperanjat melihat empat orang cewek usia belasan berparas ayu menangis sesunggukan. Keempatnya menundukkan kepala. Mereka itu kini jadi tersangka karena tepergok sebagai kurir narkoba jaringan Bandung-Jakarta-Surabaya-Bangkok.

Yang lain, ada pria perlente. Dia asyik mengisap rokok kretek. Pria itu ditemani dengan ramah dua orang polisi berpangkat letnan di ruang tamu Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Semula banyak yang mengira ia seorang advokat. Akan tetapi dari catatan kriminal, ia adalah Sukarto Masrun, pejabat eselon dua yang kini kesandung masalah korupsi kasus penjualan tanah ganjaran. Sukarto masih bisa bernapas, karena meski ditetapkan tersangka ia tidak ditahan. Namun Sukarto bikin konsensus terselubung dengan polisi. Sukarto harus keluar duit Rp 200 juta sebagai uang jaminan sehingga ia dikenai tahanan luar.

Tepat berhadapan dengan Ruang Tipikor, ada ruang unit Tindak Pidana Tertentu (Tipiter). Beberapa bergerombol orang. Mereka menunggu giliran panggilan. Sebagian besar sopir truk yang mengirim barang di pelabuhan. Kalau sudah dipanggil, para sopir menyerahkan beberapa lembar uang untuk mengambil STNK yang disita saat operasi ofensif.

***

Napas Mbok Parli makin tak terkontrol. Rasanya mau muntah berada dalam kepengapan ruang penuh kepulan asap rokok. Sesaat, kedua pundaknya ada yang menekan agar duduk di kursi.

"Berapa usia Mbok? Lettu Budi Harsono mengintrogasi di ruang Jatanras (kejahatan dan kekerasan) bersama dua polwan.

"Empat puluh tiga tahun," Mbok Parli menjawab dengan bibir gemetar.

"Sudah lama jadi dukun bayi?"

"Sudah lama, Pak. Saya ndak ingat tahun berapa?"

"Pokoknya, saya waktu itu ikut ibu di Madura. di Omben. Di Madura, Pak. Ibu saya itu sekarang sudah meninggal."

Apa Mbok pernah belajar ilmu kebidanan?" cecar Lettu Budi.

"Bidan maksudnya, Pak? Ndak, ndak pernah? Saya hanya lulusan SMP."

"Kok berani Mbok menangani persalinan bayi. Tahu dari mana menangani bayi?"

Jari-jari polisi makin lincah di atas keyboard komputer.

"Ibu saya yang mengajari. Ibu saya itu yang memaksa saya menjadi dukun bayi."

Mbok Parli mengaku, ketika ibunya masih hidup, setiap ada pasien ia selalu ikut memeriksa posisi kandungan. Kadang juga memijatnya. "Waktu itu, saya baru umur 15 tahun, Pak. Ya, itu Pak saya pertama kali menangani pasien."

Mbok Parli kemudian bercerita kali pertama menangani pasien dengan posisi kandungan nyungsang. Posisi kaki sang jabang bayi di pintu atas panggul. Itu posisi sulit. Tapi Mbok Parli dipaksa ibunya memutar posisi bayi agar kelahiran tidak rumit. Caranya dengan memijat bagian bawah perut pasien.

"Saat itu, saya ya gemeteran sekali. Wong pertama kali kok disuruh menangani kandungan nyungsang, "

"Tapi saya berhasil, Pak. Berhasil. Bayi yang saya tolong itu lahir laki-laki," ucap Mbok Parli berusaha menyakinkan.

"Tapi Mbok masih ingat ketika menolong kandungan Bu Jubaidah?" tanya Lettu Budi terus mengejar.

"Ingat, Pak. Ingat. Dia kan tinggal satu kelurahan dengan saya. Rumahnya dekat Musala Al Amin itu, kan. Anaknya itu perempuan. Sehat, Pak."

Rona Mbok Parli sontak berubah lebih tenang.

Polisi lalu menjelaskan jika anak Jubaidah itu dilarikan di rumah sakit usai persalinannya ditangani Mbok Parli. Suhu tubuhnya meninggi. Sampai 41 derajat celsius. Bayinya kejang-kejang.

"Anak itu sudah meninggal, Mbok?"

"Hahh.., ndak bener, Pak. Saya ketemu ibunya, Pak?"

"Kemarin malam anaknya meninggal."

Mbok Parli terdiam. Ia melongo. Matanya membelalak. Kedua bahunya rontok seketika mendengar keterangan polisi itu. Apa itu hasil perbuatannya?

Lettu Budi lalu menyodorkan hasil tes kesehatan. Anak Jubaidah yang baru berusia seminggu itu positif tetanus. Bayi malang itu meninggal diduga kuat akibat malpraktik. Itu diketahui dari deteksi kesehatan saat bayi dirujuk di rumah sakit. Ternyata, bayi itu pusarnya menonjol. Istilah orang Jawa udelnya bodhong atau hernia umbilicalis.

Pengakuan Jubaidah, ketika itu Mbok Parli sempat menaruh uang logam di pusar bayi. Katanya, uang logam itu bisa mengatasi udel bodhong. Sudah berulangkali Mbok Parli melakukan cara itu. Hasilnya baik-baik saja.

Lettu Budi masih dengan petunjuk medical record di tangannya. Ia menjabarkan, bayi itu terdeteksi mengalami tetanus di pusarnya. Dugaan kuat karena benda tajam yang tidak steril.

Sesaat, polisi membuka kotak yang dibalut kain sarung. Kotak itu namanya Dukun Kit. Isinya, perban, tali pusat yang terbuat dari benang, alkohol, yodium/betadine, dan plester. Ada satu lagi, gunting yang terlihat tidak mengkilat.

"Benar ini milik. Mbok. Ini yang dipakai untuk persalinan?"

"Benar, Pak."

"Waktu memotong ari-ari bayi, Mbok pakai apa? Kecurigaan Lettu Budi makin kuat.

"Gunting, Pak."

"Gunting ini, kan?" desak Lettu Budi.

Mbok Parli pun terdiam. Bola matanya, lagi-lagi, melompat-lompat. Ia seakan berat berkata, kalau gunting itu dibawa polisi dari rumah. Gunting itu ditempatkan di keranjang. Ketika itu, Mbok Parli agar gugup gara-gara pisau yang biasa dipakai menggunting tali pusar tidak ia temukan dalam Dukun Kit. Jadinya, dia menyambar saja gunting yang sehari-hari dipakai untuk memotong barang-barang di warung kelontong miliknya.

Tiba-tiba mata Mbok Parli mendongak ke atas. Penglihatannya berkunang-kunang. Sesaat, dia pun roboh. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun