Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Punguti Daun Rontok, Perempuan Ini Bisa Jual Produk ke Eropa

26 November 2019   17:03 Diperbarui: 29 November 2019   07:05 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siti Retnanik memamerkan produknya.foto:arya wiraraja/enciety.co

Siang itu, saya mengantar empat perwakilan manajemen Carrefour. Menemui Siti Retnanik. Karib disapa Nanik Heri atau Bu Daun. Perempuan pelaku usaha daur ulang asal Surabaya.

Mereka ingin melihat proses produksi di Bengkel Kriya Daun 9996 yang dibuka sejak 9 September 1996. Lokasi yang dituju di Jalan Ngagel Mulyo XV/23 A, Surabaya. Untuk ke sana, kami harus melewati gang-gang kecil. Cukup untuk lewat satu mobil saja.

Rumah Nanik terbilang sederhana. Berukuran 6 x 15 meter persegi. Di bagian depan rumah ada kursi, meja, serta lemari dengan berbagai pajangan produk daur ulang. Persis seperti showcase yang menyediakan pernak-pernik kerajinan.

Nanik punya satu rumah lagi yang dipakai workshop. Jaraknya sekira 10 meter dari rumah dia. Tempatnya tidak mewah. Saat kami datang ada  6 orang bekerja di sana. Juga ada tumpukan kotak-kotak berbagai ukuran yang sudah dilapisi hiasan daun kering.

Produk Bengkel Kriya Daun 9996 bukan hanya dipasarkan di dalam negeri, tapi juga dikirim ke Singapura, Malaysia, dan Inggris. Berbagai produk memenuhi pasar luar negeri, antara lain, pigura, lampu hias, wadah tisu, kipas, sampul Alquran, tempelan magnet kulkas, kotak abu jenazah, keranjang, dan guci.

Untuk kotak abu jenazah, lebih 10 tahun Nanik memenuhi pesanan buyers di London, Inggris. "Saya rutin kirim 1.500 kotak abu jenazah ke Inggris. Di Double Rectangle dan Daisy Coffin. Bahkan kadang sekalian peti matinya."

Hasil akhir, perwakilan Carrefour membawa 50 barang dari Bengkel Kriya Daun 9996 untuk dijual di gerai Carrefour.Ahmad Yani, Rungkut, Bubutan, Kalimas, Goci Mall, dan Lebak Bulus.

***

Dalam produksi, Nanik Heri bekerja sama dengan petugas kebersihan dari Jember, Jombang, dan Surabaya. Satu karung daun yang bersih ukuran kecil dibeli Rp 20 ribu, ukuran sedang Rp 25 ribu, dan ukuran besar Rp 30 ribu. Sebulan, Nanik bisa mengumpulkan lima karung daun kering dari Jember, dua karung Jombang, dan tiga karung dari Surabaya.

Kata dia, semua jenis daun sebenarnya bisa dipakai asal tidak berbatang basah. Sebab kandungan airnya banyak. Sehingga, risiko jamurnya tinggi. Itu sebabnya, Nanik memilih yang berbatang kayu.

Dia memakai daun kupu-kupu karena menjadi ciri khas produksi dan sudah dipatenkan. Sempat memakai daun waru, namun barangnya sulit didapat. Kalau daun kupu-kupu banyak berceceran di jalanan.

Nanik punya metode memotong daur agar tidak merusak lingkungan. Dia mendapat ilmu dari almarhum suaminya, Heri Wibawanto. Dia orang pertanian. Bagaimana memotong agar tumbuhnya bagus dan tidak merusak lingkungan. Juga memilih ranting yang dibuang. "Itu saya pelajari benar," cetus dia.  

Kata dia, jika daun makin busuk dan berjamur, harga makin mahal. Dari bahan baku daun itu, Nanik lantas merebusnya. Untuk mempertahankan warna coklat daun agar tidak pudar, ia rebus menggunakan asam sitrat. Untuk mendapat warna hijau agar tidak kusam, ia rebus dengan tambahan soda kue atau garam dapur dalam posisi air mendidih selama 10-15 menit.

Untuk proses kimia agar daun putih, Nanik merendamnya dalam menggunakan hidrogen peroksida (H2O2). Setelah itu, angkat dari rendaman dan bilas dengan air sebanyak tiga kali. Daun yang telah diredam dalam larutan H2O2 akan berwarna putih polos setelah dikeringkan.

"Walau jumlahnya banyak, ini tidak merusak lingkungan. Sebab, saya membatasi pemetikannya. Saya juga punya lahan pembibitan bauhinia purpurea di Jombang. Luasnya 400 meter persegi," ungkap Nanik. 

Untuk mengeringkan, daun ditaruh di atas koran. Ini agar airnya meresap. Lalu disetrika satu per satu sampai kering. Kemudian dengan menggunakan lem, daun dibentuk dan ditempelkan di media yang dikehendaki seperti gerabah, kayu, karton atau plastik.

Permukaan daun yang sudah ditempel dan kering lemnya, dicat warna clear supaya awet dan tidak berjamur. Setelah melewati proses tersebut, daun akan lentur. Tinggal mau diapakan. Bisa dilipat-lipat untuk bunga, kupu-kupu, baju boneka, dan lain sebagainya.

Nanik selalu mengontrol kualitas produksi kepada anaknya, Aditya Paramajendra Prabawa. Menurut dia, anaknya lebih cermat, telaten dan teliti  mengamati hasil produksi.

"Anak saya itu dijuluki mata malaikat. Karena ada lubang sedikit saja dia pasti tahu," ucap dia, lalu tersenyum.

Nanik mengakui produk Bengkel Kriya Daun 9996 harganya relatif mahal. Tidak sama dengan produk-produk yang dijual di pasaran. Apalagi di pedagang kaki lima.

Suatu ketika, cerita Nanik, ia pernah kedatangan bule asal Australia. Dia berniat membeli produk Bengkel Kriya Daun 9996. Kebetulan, dia sedang melancong ke Surabaya. Di sela mengamati barang, ia menunjukkan album berisi foto-foto produk kepada Nanik. Dia yakin produk di foto albumnya sama dengan produk Bengkel Kriya Daun 9996.

Bule itu lalu menunjukan satu produk yang dijual Rp 17,5 ribu. Sementara barang milik Nanik dijual lebih mahal, Rp 75 ribu. Makanya, bule itu minta Nanik menurunkan harga. 

Nanik lalu bilang kalau bandrol produknya sudah fixed, tak bisa ditawar. Karena Nanik berani menjamin produknya jauh lebih baik dari produk kerajinan di foto yang dibawa bule tersebut. Bahannya jelas lebih berkualitas. Pun dengan proses pembuatannya, jauh lebih sulit.

Lem yang digunakan saja tidak sembarangan. Ini karena ia melayani konsumen di luar negeri yang sangat selektif terhadap penggunaan bahan-bahan yang dianggap membahayakan kesehatan. 

Nanik meyakinkan jika semua produknya tidak ecek-ecek. Penjelasan itu disampaikan terbuka. Nanik lalu meminta tanggapan semua alasannya itu. Dan bule Australia itu mengamininya.

***

Mama-Mama Papua belajar di Bengkel Kriya Daun 9996.foto: arya wiraraja/enciety.co
Mama-Mama Papua belajar di Bengkel Kriya Daun 9996.foto: arya wiraraja/enciety.co
Bu Daun. Itulah sebutan Nanik Heri alias Siti Retnanik. Nanik tak pernah terganggu dengan panggilan itu. Justru ia malah bangga. Karena dari daun, ia bisa menghidupi keluarganya.

Dari daun, Nanik bisa membiayai pendidikan ketiga anaknya, Evan Nila, Aditya Pramana Jendra Prabowo, dan Aditya Muda Jendra Prakasa hingga lulus perguruan tinggi.

"Terus terang, tiga anak saya itu juga dibilang sarjana godhong (daun). Uangnya memang dari daun," aku Nanik, lalu tersenyum bangga. 

Bisnis yang digeluti Nanik sejatinya warisan almarhum suaminya, Heri Wibawanto. Heri yang bekerja di Dinas Perkebunan Jawa Timur, gemar berkebun dan bercocok tanam. Di rumahnya dulu, di Pondok Tjandra, Sidoarjo, memiliki halaman cukup luas. Heri menanam segala macam tanaman.

Ketika bersih-bersih halaman, Heri memunguti daun-daun yang rontok. Heri lantas memasukkannya ke dalam sistem pengeringan masih alami. Namanya herbarium.

Ketika pensiun, tahun 1997, Heri makin aktif mengumpulkan daun-daun. Bisa pagi atau sore. Setahun sebelum pensiun, Heri mulai berkarya dengan membuat aneka kerajinan dari kertas merang dan bahan-bahan lain.

 Kala itu, Nanik kurang sreg dengan aktivitas Heri. Lha kok setelah pensiun malah sibuk mengumpulkan daun-daun. Nanik khawatir suaminya mengalami post power syndrome. Bahkan dia sempat protes, "Gae apa tho pak, daun-daun ngunu. Gak ada kegiatan lain, tha."

Heri menjawab santai. Janji akan mengolahnya, lalu menjadikan sebagai barang seni yang bernilai dan bisa dijual.

"Barang seni opo? Ah, itu mustahal," cetus Nanik. mengutip ungkapan pelawak Srimulat Asmuni dengan celotehan "hil yang mustahal."

Heri bergeming. Dia bakal buktikan ucapannya. Heri kemudian membuka kembali daun-daun yang sudah disimpan lama. Daun-daun tersebut dipakai bahan katalog. Lalu dibuatkan detail datanya. Seperti lokasi asal mengambil daun, bahasa latinnya, dan masih lainnya.

Tahun 1999, Heri membuat kartu ucapan Idul Fitri, Natal, Valentine's Day. Bahannya dari daun dan rumput. Kala itu, belum ada SMS (short message service) atau WA. Tak dinyana, kreasi kartu ucapan tersebut laku dijual.  

Heri lantas berkreasi lagi dengan membuat kotak tisu. Bahannya sama. Kotak tisu ini juga laris manis.

***

17 Agustus 1999. Momen spesial bagi Nanik Heri. Ketika itu, pada pemerintahan Presiden B.J Habibie, dia ditelepon pihak Istana. Pesan 1.000. untuk dibagikan sebagai cindera mata pada upacara bendera di Istana Merdeka, Jakarta. Pesanan itu harus siap di Jakarta pada 10 Agustus 1999.

Nanik dan suaminya hanya mampu memenuhi 500 buah kotak tisu. Saat itu, Bengkel Kriya Daun 9996 baru punya lima tenaga kerja. "Hasil karya kami tidak mengecewakan pihak istana."

 Pada tahun 2000, Heri ikut pameran di Belanda, Perancis, dan Jerman. Mereka berangkat bersama perajin perunggu, marmer, tenun gedog, dan aklirik.

"Dari situ saya nangis. Saya percaya omongan suami. Oalah.., wong edan budhal nang luar negeri ("orang gila" berangkat ke luar negeri, red)."

Pascapameran di luar negeri, pamor Kriya Daun 9996 makin moncer. Pesanan dari luar negeri mulai berdatangan. Sementara untuk pasar nasional, selain di Jawa, Nanik juga mengirim ke Sumatera Utara dan Nusa Tenggara.

"Kalau ke luar negeri gak kasih merek. Mereka yang kasih sendiri. Harganya ya bisa enggak karu-karuan."

Tatkala bisnis merekah, gelombang cobaan menerpa. Diawali serangan teroris Gedung World Center di New York, 11 September 2001. Mereka harus kehilangan pembeli dari Inggris, Perancis, Belanda, dan Australia.

Cobaan kembali datang manakala terjadi ledakan bom di Bali. Kali ini, transaksi dengan buyer Korea, Taiwan, Jepang, dan Australia buyar. Omzet Kriya Daun 9996 melorot drastis hingga 70 persen.

"Seperti di Australia, kami biasanya rutin mengirim pesanan minimal Rp 20 juta setiap dua bulan sekali."

Parahnya, buntut invasi Amerika Serikat ke Irak, pesanan botol anggur yang sudah rutin setahun terhenti. Wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) juga makin memperburuk keadaan. Mereka batal mengirim pesanan dan pameran di Malaysia.  

 "Saya kira semua ujian harus dijalani. Wong namanya saja pengusaha, harus siap untung dan siap rugi. Harus mampu sabar dan tabah."

Sikap Nanik itu membawa dampak positif. Tahun 2005, dia kembali rutin mengirim kotak abu jenazah ke Inggris hingga sekarang.  

Kesibukan Nanik kini tetap padat. Selain berbinis, ia juga kerap diundang menjadi instruktur wirausaha. Rumahnya kerap jadi jujugan warga daerah lain di Indonesia untuk belajar.

Sebulan, Nanik bisa meraup omzet Rp 50-75 juta. Sebagai pelipur hati, ia acap mengenang almarhum suaminya seiring makin berkembang bisnis yang dilakoni. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun