Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar dari Dahlan Iskan dan Seminar Kegagalan

5 November 2019   16:29 Diperbarui: 5 November 2019   21:35 2904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dahlan Iskan(KOMPAS.com/ESTU SURYOWATI)

Dahlan hidup bersama istrinya, Siti Nafsiah. Anak pertama mereka, Azrul Ananda (kini Presiden Persebaya), masih bayi. Rumah itu juga dijadikan kantor. Ada empat awak Tempo yang tiap hari melakukan tugas-tugas jurnalistik di sana. Mereka Ibrahim Husni, Dharma Dewangga, M Bahrun, dan Slamet Oerip Pribadi.

Belum banyak fasilitas yang diterima dari Tempo. Hanya satu mesin ketik dan satu unit motor Honda CG yang dipakai secara bergiliran. Pun dengan kamera, mereka gantian menggunakan. Untuk berita plus foto, dikirim via pos di Kantor Pos Besar Jalan Kebon Rojo, Surabaya.

"Kami sangat guyub. Dalam soal makan, kami biasanya memasak dua telur ayam dicampur ampas kelapa. Itu biasa dimakan delapan orang. Kalau pun ada sayur, yang sering sayur bobor (bayam dicampur santan)," cerita Slamet Oerip.

Meski serba terbatas, semangat Dahlan untuk maju sangat tinggi. Dahlan tak pernah bosan mengajukan usulan laporan utama buat Tempo. Selalu saja ada ide-ide segar tentang pemuatan berita-berita daerah. Dia ingin daerah bisa berdaya. Jangan sampai daerah memberi kontribusi besar kepada pusat, tapi peluang berkembang dikebiri.

Prinsip itu terus diusung Dahlan hingga ke rapat akbar Majalah Tempo di Jakarta. "Yang pasti, kali pertama Majalah Tempo mengangkat laporan utama dari daerah, itu ide Pak Dahlan," ungkap Slamet Oerip. Dia menyebut laporan tentang beras dan lingkungan hidup di Jatim pernah menghiasi laporan utama di Majalah Tempo.

Dari laporan daerah, Dahlan melebarkan gagasan untuk memberdayakan wartawan Tempo di daerah. Pada 1977-1979, gaji yang diterima wartawan Tempo di daerah tergolong kecil. Berkisar Rp 100-200 ribu sebulan. Untuk mengontrak rumah kecil di kampung saat itu besarnya mencapai Rp 250 ribu setahun.

Setelah dua tahun berjalan, Dahlan memertanyakan ke manajemen Tempo. Kenapa 50 persen berita di Tempo dipasok dari wartawan daerah, tapi gaji yang diterima wartawannya jauh lebih kecil dibanding wartawan Tempo di Jakarta? Protes Dahlan itu ditanggapi pimpinan Tempo. Pada 1980, gaji wartawan Tempo di daerah mulai membaik.

Kemauannya yang keras itu juga diterapkan saat Dahlan memimpin Jawa Pos, 1982. Dahlan merombak total isi pemberitaan koran tersebut. Lebih renyah dan menghibur.

***

Sebelum menjabat Dirut PLN dan Meneg BUMN, Dahlan Iskan masih sering ditemui di Graha Pena. Meski hanya sekadar duduk, ngobrol, dan membaca buku.

Dahlan juga selalu akrab dengan anak buahnya. Dia kerap bertanya banyak hal soal kejadian di lapangan. Tidak peduli di mana tempatnya. Kadang di pujasera, di lorong tangga, maupun di parkiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun