Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dulu Keluarga Miskin, Kini Jadi Jutawan dari Limbah Eceng Gondok

24 Oktober 2019   19:54 Diperbarui: 25 Oktober 2019   19:17 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wiwit Manfaati. foto: dokumentasi pribadi

Wiwit Manfaati berjalan mengitari ruangan. Ia datangi satu per satu mereka yang sibuk menyulam taplak meja. Mempraktikkan pelajaran yang diberikan. Sesekali, ia ambil bahan yang disulam, lalu membetulkan dan merapikan melalui jarum sulam yang digunakan.

"Tekuk dulu, lalu masukkan jarumnya. Gak usah terburu-buru," begitu Wiwit memberi instruksi kepada orang yang mulai lancar menyulam.

Siang itu, Wiwit Manfaati lagi ngajar di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih Surabaya. Dia dibantu suaminya, Supardi. Liponsos dihuni penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Mereka yang "dibuang" oleh keluarganya.

Wiwit memberikan pelatihan membuat berbagai barang kerajinan. Mulai dari keset, handuk, taplak meja, mukena, dan bros. Barang yang sudah jadi terlihat bagus. Layak jual.

Pelatihan kepada para penghuni sudah berlangsung sejak 2012. Biasanya diikuti 25-35 penghuni. Tidak semua bisa ikut. Hanya yang sudah terlihat sembuh dan mendapat klasifikasi dari pembimbingnya.

Yang membanggakan, hasil kerajinan penghuni Liponsos Surabaya ini telah menghasilkan uang tabungan jutaan rupiah. Itu didapat dari penjualan berbagai macam barang yang diproduksi mereka.

Barang-barang kerajinan itu dijual ke pengunjung, dipamerkan di sentra seperti di Sentra UKM MERR dan Sentra UKM Balai Kota Surabaya. Tabungan dipakai untuk rekreasi dan makan-makan. Biasanya diadakan 2-3 bulan sekali

Butuh kesabaran lebih mengajarkan para penghuni Liponsos ini. "Mereka sering ngomel sendiri. Kadang tidak fokus," cetus Wiwit.

Demi keamanan, tiap selesai pelatihan, peralatan seperti gunting dan jarum wajib dikembalikan ke mentornya, sebelum mereka kembali ke barak untuk beristirahat.

Tahun 2019, Liponsos Keputih dihuni 1.549 orang. Rinciannya, 1.316 penderita psikotik, 211 gelandangan/pengemis (gepeng), 8 anak jalanan, 12 wanita harapan dan 2 waria. Mayoritas penghuni Liponsos berasal dari luar Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya menampungnya atas nama kemanusiaan.

Para penghuni Liponsos ditampung di lima bangunan yang disesuaikan dengan klasifikasi masing-masing. Untuk melayani ribuan mereka, pengelola Liponsos memekerjakan 55 orang. Rinciannya, 5 juru masak, 22 tenaga keamanan, 8 petugas kebersihan, 6 petugas administrasi dan 14 tenaga pendamping.

Jumlah pegawai ini belum proporsional jika dibanding jumlah penghuni. Idealnya, 1 tenaga pendamping meng-handle 10 penghuni. 

Sementara pengelola Liponsos Keputih dituntut memberi pelayanan manusiawi. Saban hari, penghuni Liponsos dapat jatah makan tiga kali. Lengkap dengan lauk dan buah-buahan.

Mayoritas penghuni Liponsos penderita psikotik. Mereka secara rutin dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Diberi obat dan mendapat penanganan tepat. Bila sudah membaik, mereka dipulangkan ke daerahnya masing-masing.

***

foto: tatarupa
foto: tatarupa

Emak Wiwit. Begitu Wiwit Manfaati disapa. Dia dipilih jadi mentor di Liponsos karena dedikasi dan prestasinya. Wiwit adalah sosok pekerja keras kreatif yang mampu menyulap limbah eceng gondok jadi duit.

Wiwit tak menyangka usahanya bisa berkembang seperti sekarang. Awal berkeluarga, dia mengalami masa pahit. Utangnya banyak. Kebutuhan finansial kerap dibantu keluarga dan kerabatnya.

"Bener, saya dulu Gakin (keluarga miskin). Bener-bener minus. Suaminya sempat kerja serabutan," ucap Wiwit.    

Dari hidup prihatin itu, Wiwit berusaha keras mencari peluang yang bisa mendatangkan rupiah. Dia lalu bikin barang-barang handicraft. Dipasarkan ke teman-temannya. Hasilnya tak seberapa. Pernah juga ikut  pameran, tapi cuma dua buah yang laku.

Tahun 2006, Wiwit ikut kader lingkungan. Dia belajar banyak hal. Termasuk ketrampilan memanfaatkan limbah. Wiwit pernah ikut pelatihan pemanfaatan eceng gondok pada tahun 2007.

Hasil pelatihan coba ia terapkan. Ketika itu, Wiwit melihat rimbunnya enceng gondok di waduk belakang rumahnya. Tercetuslah ide membuat kerajinan dari eceng gondok. 

Dibantu suaminya, Wiwit mengumpulkan enceng gondok. Tahap pertama, ia sisihkan batangnya. Batang itu dipakai sebagai bahan utama kerajinan. Wiwit lantas mengeringkannya. Harus benar-benar kering agar pengerjaannya mudah.

Butuh waktu 14 hari mengeringkan eceng gondok. Itu bila ada sinar matahari. Kalau cuaca gak menentu, pengeringan bisa makan waktu cukup lama.

Setelah benar-benar kering, satu per satu helai dianyam hingga berbentuk lembaran panjang. Wiwit mengolahnya hingga pipih. Untuk mendapatkan hasil pipih, enceng gondok harus dipres.

Tidak langsung jadi. Pasalnya, hasil anyaman Wiwit ternyata bagus. Dia butuh 8 kali belajar hingga berhasil. "Dari situlah produk saya mulai dilirik tetangga sekitar. Saya akhirnya mulai berani jual hasil karya saya yang pertama," turur wanita kelahiran 15 April 1967, ini.

Tahun 2008, produk eceng gondok Wiwit jadi unggulan Kelurahan Kebraon. Lamat tapi pasti, kerajinan eceng gondok Wiwit mulai dilirik Pemerintah Kota Surabaya.

Wiwik mengungkapkan, kali pertama ikut pameran di Gramedia Expo, ia tampilkan tas wanita bahan eceng gondok yang diberi hiasan bunga dan pemandangan alam. 

Wiwit mengaku minder. Sebab, produk peserta pameran lain kualitasnya jauh lebih baik dari miliknya. Akan tetapi, panitia menyemangatinya agar tetap berkiprah.

"Yang paling saya ingat ketika ikut pameran Pahlawan Ekonomi.  Produk saya dilihat Bu Risma (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini). Bu Risma bilang desainnya jelek," ucap perempuan berjilbab ini.

Kritik Risma itu jadi pelecut diri. Wiwit makin bersemangat membuat kreasi produk. Beberapa bulan, ketika bertemu Bu Risma lagi dalam event pameran, komentarnya berbeda. "Lha, ngene iki apik. Iki isok didol larang. (Begini ini bagus. Bisa dijual mahal, red)," kata Wiwit menirukan ucap Risma

***

Wiwit ikut pameran di Korsel.foto:dok pribadi
Wiwit ikut pameran di Korsel.foto:dok pribadi

Wiwit Manfaati menyakini bisnis harus fokus. Image dia sebagai pengusaha eceng gondong benar-benar dirawat. Lahirnya banyak produk dari eceng gondok merupakan bukti jika dia konsisten di jalur bisnis yang ditekuni.

Pada 25-27 Juli 2016, Surabaya menjadi tuan rumah penyelenggara The Third Preparatory Committee United Nations for Habitat (Prepcom 3). Kegiatan itu dilangsungkan di Hall Exhibition Grand City.

Berkah luar biasa diperoleh Wiwit. Produk 4.000 lebih produk kerajinan eceng gondok buatannya dipakai sebagai souvenir peserta konvensi yang membahas perkembangan permukiman dunia. Semua perwakilan dunia memuji hasil karajinan eceng gondok milik Wiwit.

Pekan lalu, Wiwit sempat ikut pameran di Seoul, Korea Selatan. Dia bertemu dengan buyer dari Mexico, Jepang, Ecuador dan Korea Selatan. Pulang ke Tanah Air, secara periodik dia kirim ratusan barang ke mereka.

Dalam menjalankan roda bisnisnya, Wiwit kini dibantu 15 tenaga kerja. Sebetulnya jumlah tersebut masih kurang. Namun mereka mengakui tak mudah untuk merekrut tenaga kerja yang mau menggeluti bisnis anyaman limbah eceng gondok ini. 

Sebab, tak sedikit tenaga kerjanya yang keluar masuk. Rata-rata mereka cepat putus asa. Padahal bikin kerajinan butuh sabar dan telaten.

Sebagai perajin, Wiwit mengaku tidak berhenti belajar. Dia terus  memperbarui produknya agar bisa mengikuti selera pasar. Misalnya untuk desain, Wiwit memanfaatkan keikutsertaan pameran sebagai ajang untuk mencari ilmu ke perajin lain.

Ditanya omzet, Wiwit malu-malu menjawab. Yang jelas, mencapai ratusan juta rupiah. Untuk sekali pameran, dia bisa meraup puluhan juta rupiah. Hasil usahanya sudah diwujudkan dengan membeli properti, mobil, dan mendaftarkan semua keluarganya naik haji.

Di rumahnya, Perumahan Kebraon Indah, Surabaya, kini jadi jujugan tamu dari berbagai daerah-daerah di Indonesia untuk belajar membuat kerajinan eceng gondok. Beberapa BUMN juga sering mengirim pegawai yang akan purna tugas untuk belajar bisnis di rumah Wiwit.

"Saya selalu terbuka untuk belajar. Hanya saya selalu berpesan jika bisnis bukan sulapan. Harus mau ikut prosesnya. Satu lagi, mentalnya harus kuat. Gak boleh mutungan (putus asa)," ujar Wiwit Manfaati. (Agus Wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun