Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berhala

19 September 2019   11:28 Diperbarui: 1 Oktober 2019   02:24 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi:inilahkoran.com

Alif bersekutu dengan malam. Untuk kesekian kalinya. Waktu yang selalu ia tunggu-tunggu. Saat jengah mewabah dan mendera jantung hatinya. Akal yang tak cakap lagi diajak berpikir. Ketika semua kenyataan dan hamparan masalah mendedah pikirannya.

Malam, waktu yang tepat mencurahkan segala asa. Meredam prahara jiwa. Tak salah bila ia selalu merindukannya. Malam yang bening, tenang, khusyuk, syahdu. Menatap dan memotret diri dari relung sukma. Duduk di atas sajadah. Menengadahkan tangan, menunduk, lalu bersimpuh. Lelehan air mata sebagai obat mujarab tatkala ia tak bisa lagi merangkai deretan kata-kata indah. Ketika gejolak batin terus bekecamuk.

Malam, bagi Alif, memang selalu teramat spesial. Teramat indah. Karena malam selalu mengantar dirinya menjadi lelaki yang lembut. Lelaki yang peka dengan sentuhan-sentuhan kalbu. Jiwa yang terpanggil. Sukma yang terusung. Meretas jalan menuju kaki langit. Menjadi lelaki rendah hati dan berpasrah diri. Di tengah keangkuhan dan kepongahannya. Sebentang jalan mengusir kesuntukan. Meredam kobaran api amarah.

Malam, buat Alif, menjadi kereta yang siap menghantarkan dia dalam gelap. Peraduan yang sunyi. Tak ada bisikan. Tak ada cercaan. Hanya desiran-desiran halus yang sungguh-sungguh mengukuhkan intuisinya.

Seandainya tak ada keniscayaan alam yang mengharuskan manusia mengisi pagi, siang, hingga senja untuk bekerja, Alif pernah berkhayal akan memilih malam sebagai tempat persinggahan raga. Persinggahan yang menuntun dia untuk bercumbu dengan segala keluh kesah. Persinggahan atas permohonan ampunan atas lumuran dosa.

Alif membenamkan angan. Membayangkan melepas semua atribut diri. Tersandang hampir tiga belas tahun. Menuntun hasrat dan cinta akan gemerlap duniawi. Menyentuh jantung identitas diri, ruhani, dan ideologi.

Urusan-urusan klise yang membelit hidup: pangkat dan kedudukan. Gaji, bonus, dan tunjangan. Berikut mebesarnya kewenangan dan positioning kinerjanya. Lewat batas itu, kebanggaan menjadi wakil korporasi. Yang sarat tipu daya. Menginjak kawan seiring, mengendus wangi kekuasaan.

Alif berpikir serius, mampukah berhenti dari semua kebohongan dan kepalsuan ini? Permanen. Saban hari, saban detik yang penuh basa-basi. Tahun demi tahun terlewati dengan debar hati yang sesak.

Kadang ia bertanya sendiri, apakah ia telah menjadi para penyembah berhala? Seperti diwantikan para alim ulama tentang tanda-tanda akhir zaman. Hanya karena pekerjaan, manusia bakal lumpuh dalam keprasrahan, kepatuhan, dan memasrahkan segenap masa depannya selain Sang Khalik.

Otak yang riuh dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh. Menaati titah pimpinan. Mengamini perintah meski harus berbuat di luar kewajaran. Memberi makan ego tuan-tuan borjuis baru yang memuakkan yang selalu hadir menyemai kepatuhan di luar batas nalar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun