Mohon tunggu...
Agustus Sani Nugroho
Agustus Sani Nugroho Mohon Tunggu... Advokat, Pengusaha -

Lawyer, Pengusaha, Penulis, Pemerhati masalah sosial budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Silahkan Berdebat, Tapi Mari Mencerdaskan (Bukan Membodohi) Bangsa

19 Juni 2014   10:16 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:10 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam debat Capres kedua kemarin (video lengkap dapat diklik dan dilihat disini) terlihat 2 gaya Capres yang sangat berbeda. Jokowi lebih kalem, tenang (walau kadang terlihat gugup, terutapa di awal-awal acara), sementara Prabowo berapi-api, berbicara keras dan terkesan meyakinkan (walau sempat gelagapan daat dikasih pertanyaan dan tidak bisa menjawab). Jokowi banyak menggunakan pendekatan praktikal, Prabowo menggunakan pendekatan konseptual. Jokowi menggunakan parameter dan angka-angka yang lebih realistik, Prabowo menggunakan angka-angka yang fantastis.

Terlepas dari apapun gaya yang dipilih oleh Para Capres ini, sejatinya ada hal yang sangat penting dalam proses ini, yaitu apakah substansi yang dibicarakan mereka itu, dapat mencerdaskan rakyat negeri ini yang akan memilih mereka nanti dan bukan sekedar berhasilkah mereka meyakinkan rakyat untuk memilih salah satu dari mereka ?

Tentu, segera setelah debat selesai seluruh pendukung Prabowo langsung menyuarakan kekaguman dan reaksi yang sangat positif atas bagaimana Prabowo terkesan sangat meyakinkan dalam berbicara di depan berjuta-juta rakyat Indonesia yang menyaksikan acara itu, Live. Ini yang sungguh sangat membingungkan bagi banyak orang (yang mau berfikir jernih). Dengan persiapan Prabowo yang sudah sedemikian lama untuk tampil sebagai Capres tahun ini, dengan demikian besar dana yang dimiliki dan digunakan untuk sampai pada tahapan sekarang,  apakah beliau tidak dapat memperoleh Tim Sukses profesional yang mampu memberi masukan pada Prabowo agar ia tidak terjebak dalam retorika pidato yang memuat pernyataan-pernyataan atau pun janji-janji yang justru akan menjadi semacam bumerang bagi dirinya sendiri (atau pasangannya). Apa yang kita saksikan dalam Cebat Capres kedua yang lalu, dan reaksi yang diterimanya segera setelah itu, membuat saya kasihan padanya.

Lihatlah ketika beliau menggembar-gemborkan dan mengklaim bahwa tiap desa akan memperoleh Rp 1 milyar pertahun menjadi seakan-akan itu adalah idenya atau partainya, langsung terbantah oleh sebuah fakta bahwa itu adalah amanat Undang-undang Desa. Dan dalam debat yang sama langsung dibantah oleh Jokowi bahwa ide itu bukan berasal darinya tapi amanat Undang-undang yang bahkan mewajibkan siapapun yang nantinya menjadi Presiden untuk menjalankannya. Bahkan sebagaimana dijelaskan Jokowi, jumlahnya pun (lagi-lagi berdasarkan undang-undang) bisa lebih besar dari Rp. 1 milyar (tergantung kondisi desa tersebut). Segera setelah Debat, masih live di TV nasional, Budiman Soejatmiko yang merupakan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Desa bahkan membantah keras dan menuduh Prabowo memanipulasi fakta sejarah (mengenai hal itu), karena keterlibatan Prabowo atau Partai Gerindra hampir tidak ada dalam terbentuknya Undang-undang Desa tersebut (Baca juga berita sejenis disini)

Lalu Prabowo menggembar-gemborkan kekayaan negara versi KPK sebesar Rp 7200 trillun dan versinya Rp. 1000 trilliun BOCOR setiap tahunnta. Beliau mencampur adukkan juga kebocoran kekayaan negara itu dengan devisit anggaran (APBN) kita setiap tahunnya yang menunjukkan ketidak-mengertian beliau atas struktur sumber pendapatan dalam APBN kita. Lebih parahnya lagi, segera setelah itu Jurubicara KPK malah membantah soal kebocoran anggaran sebesar Rp.7000 trilliun itu. Bahkan tak urung Presiden SBY mempertanyakannya dan meminta kebocoran itu ditanyakan kepada mantan Menko Perekonomian yang kini menjadi Cawapresnya, Hatta Rajasa. Terakhir, Hatta Rajasa sendiri mengemukakan hal itu bukanlah kebocoran anggaran, namun potensi kehilangan pendapatan. Tentu sungguh sangat-sangat berbeda sekali berbicara POTENSI (yang merupakan ASUMSI, bukan fakta dan data) sebuah potensi pendapatan yang hilang dengan KEBOCORAN Anggaran" Apalagi hal ini juga masih ASUMSI pula. Sekali lagi perlu diperjelas, POTENSI/ASUMSI bukanlah fakta dan data.

Sekilas bagi sebagian besar rakyat yang tidak mengerti masalah ekonomi makro negeri ini apa yang dikatakan Prabowo sangatlah mengesankan dia sangat mengerti (karena berbicara dengan sangat yakin) dan seakan-akan memberikan begitu besar harapan. Mengapa demikian? Karena rakyat yang polos selalu berprasangka baik dan "berusaha" mempercayai Calon Pemimpin negeri ini. Tentulah seorang Calon Pemimpin negeri dengan lebih dari 240 juta orang penduduknya ini tidak akan sembarangan berbicara dan apapun yang dikatakannya tanpa dipikirkan secara matang sebelumnya.

Namun sangat disayangkan, walau para pendukungnya kemudian babak-belur berusaha mempertahankan atau meluruskan apa-apa yang sudah dikatakan Prabowo dalam debat terbuka dihadapan seluruh rakyat negeri ini, fakta adalah fakta dan dunia saat ini sudah sangat terbuka dan informatif. Tidak mungkin menutupi fakta yang ada dan juga pada saat yang sama tidak mungkin dapat membodohi seluruh rakyat (yang sudah cerdas) dengan pernyataan-pernyataan yang (maaf menurut saya) menyesatkan.

Ini merupakan cara-cara lama kampanye yang digunakan di masa lalu, yang sudah sangat tidak relevan untuk digunakan dimasa kini dan masa depan. Rakyat kita sudah melek informasi dan cerdas. Tidak cukup dimasa kini hanya mengandalkan "Retorika" semata yang tidak didukung oleh kebenaran dan substansi isi materi yang dibicarakan. Sungguh bagi saya ini sangat menyedihkan karena tertangkap sebagai upaya pembohohan rakyat dan sangat tidak mencerdaskan bangsa. Sayang sekali orang sekelas Prabowo, tidak dikelilingi oleh orang-orang yang cerdas dan baik. Karena jika orang-orang disekitarnya itu cerdas dan baik dalam arti ingin memenangkan (dan bukan menyenangkan) Prabowo , saya sangat yakin hal-hal semacam itu tidak akan terjadi atau dapat dihindari. Memenangkan dan menyenangkan itu adalah dua hal yang sangat berbeda sekali. So pertanyaannya, kemana aja tuh tim sukses dan team pakar Prabowo ??

Apakah ini terjadi karena kepongahan dan sikap merendahkan atau menganggap remeh lawan, lagi-lagi dengan ASUMSI (yang tidak jelas parameternya) bahwa Prabowo (yang lebih pintar dan lebih tinggi IQ nya) pasti menang jika diadu debat dengan Jokowi?

Sepertinya harus ada yang menyampaikan kepada Prabowo, bahwa kesombongan tidak akan memenangkan sebuah perlombaan atau persaingan karena akan membawa kita untuk tidak mau belajar dan mengerti banyak hal yang tidak kita mengerti sebelumnya. Sementara kerendahhatian, kejujuran akan mamaksa kita belajar guna mengisi kekurangan kita, dan itulah yang justru akan membawa pada kemenangan. Pintas tanpa hati hanya akan hadirkan kesombongan dan tidak akan hasilkan kebijaksanaan. Negeri ini memerlukan pemimpin yang bukan hanya pintar tapi juga Bijaksana.

Dari apa yang saya lihat, amati dan ikuti hingga hari ini, saya semakin yakin dan mantap untuk tetap memilih Jokowi-JK dalam Pilres nanti.

Selamat memilih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun