Mohon tunggu...
Agustinus Triana
Agustinus Triana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Lampung

Menulis agar ada jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Kerajaan Baru; Antara Krisis Emosional, Kekuatan Luar, dan Negara yang Lalai

23 Januari 2020   15:00 Diperbarui: 23 Januari 2020   18:21 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : tribunnews.com

Cerita lainnya adalah ketika terjadi gesekan antara masyarakat Sunda dengan kelompok lain yang mengklaim dirinya sebagai pejuang kemurnian agama. Gesekan tersebut terjadi ketika Dedi Mulyadi Bupati Purwakarta bermaksud menghidupkan kembali budaya salam "sampurasun-rampes". Salam ini adalah budaya masyarakat Sunda yang sudah ada sejak zaman dahulu.

Namun, kelompok FPI menentang kebijakan Dedi Mulyadi. Dalam sebuah pertemuan kelompok Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq mengeluarkan pernyataan menyindir dengan mengubah kata-kata salam tersebut menjadi "campur racun-mampus".

Segera saja terjadi gesekan panas antara masyarakat Sunda dan FPI. Terjadi penghancuran patung-patung tokoh wayang oleh orang-orang tidak dikenal. Peristiwa tersebut cukup membuat heboh masyarakat.

Gesekan budaya antara kelompok pemegang teguh kearifan lokal dengan kelompok lain yang mengklaim dirinya pejuang kemurnian agama, juga memberikan dampak tersendiri pada suasana kebathinan masyarakat Sunda. Tidak hanya yang berada di Jawa Barat, masyarakat Sunda yang berada di perantauan pun merasa terancam suasana kebhatinannya.

Suasana kebhatinan yang timbul akibat romantisme kejayaan masa lampau masih bisa kita jumpai pada sebagian masyarakat kita. Romantisme kejayaan masa lalu ini muncul dalam bentuk kepercayaan masyarakat bahwa harta karun kerajaan-kerajaan zaman dahulu masih tersimpan baik terselubung alam ghaib. Harta karun tersebut dipercaya akan menjadi solusi perbaikan nasib masyarakat dan solusi masalah ekonomi Negara. Suasana kebhatinan ini muncul karena dorongan faktor ekonomi dan halusinasi pada hal-hal ghaib.

Bahkan masyarakat yang meyakini tentang keberadaan harta ini, secara individu dan berkelompok berusaha keras melengkapi dirinya dengan tradisi-tradisi berbau klenik dan tahayul. Mereka terobsesi menjadi pembuka keberadaan harta yang dimaksud.

Jika dipelajari dengan seksama, mereka ini adalah orang-orang atau kelompok masyarakat yang mengalami kegelisahan. Mereka terjebak antara khayalan sumber harta terpendam yang bisa menjadi hak mereka dan kehidupan ekonomi mereka saat ini. Kecenderungan berpikir dan tingkah laku mereka tidak lagi masuk akal. Mitos dan halusinasi sudah menjadi realita bagi mereka akibat dorongan pada perubahan kesejahteraan.

Harus kita akui dan maklumi, bahwa bayang-bayang masa lampau tentang kejayaan dan kemakmuran zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara telah memberikan bekas yang abadi dalam masyarakat kita. Meskipun suasana kebhatinan yang dimunculkan berbeda-beda. Ada yang menjelma menjadi sebuah tradisi budaya yang harus dijaga sebagai kearifan lokal dan warisan luhur, namun ada juga yang menjelma menjadi perilaku yang sulit diterima nalar dan dianggap mitos belaka. Bekas abadi kejayaan masa lampau tersebut memang tidak berlaku pada semua masyarakat kita, sehingga penilaian dan penerimaannya juga berbeda-beda di tengah-tengah masyarakat.

Perbedaan penerimaan dan penilaian inilah yang menyebabkan terjadinya gesekan-gesekan di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, muncul krisis emosional dan stres mental yang mengendap di tengah-tengah masyarakat, bahkan siap berekasi sewaktu-waktu sebagai mekanisme pertahanan diri menghadapi ancaman terhadap suasana kebhatinan mereka.

Perubahan Nusantara dari zaman kerajaan ke zaman era Republik sekarang dianggap belum mampu memberikan tempat pada eksistensi tradisi dan bentuk-bentuk peninggalan luhur. Negara kemudian dicurigai sebagai oknum yang akan menggilas suasana kebhatinan yang mereka miliki.

Kelalaian Negara pada penghargaan nilai luhur budaya, acapkali memperparah anggapan masyarakat bahwa demokrasi adalah biang keladi hilangnya nilai-nilai luhur budaya mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun