Mohon tunggu...
Agustinus Triana
Agustinus Triana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Lampung

Menulis agar ada jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pilihan dalam Menegakkan Hukum

17 Desember 2018   08:00 Diperbarui: 17 Desember 2018   08:02 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kekeluargaan biasanya dikedepankan bila orang Indonesia akan menyelesaikan sebuah masalah. Sebelum proses hukum berjalan, biasa dipilih dahulu penyelesaian masalah lewat jalur kekeluargaan. Kuncinya ada saling pengertian antara kedua belah pihak. Hasil akhir biasanya antara keluarga yang berperkara muncul persaudaraan dan bagi masyarakat luas semakin dikuatkan rasa kerukunan.

Beberapa bulan lalu saya menghadiri undangan sebuah kelompok petani di kabupaten T untuk memberikan materi soal penguatan lembaga tani. Sembari menuju lokasi, saya menjemput Bapak S, yang secara pribadi sudah menganggap saya sebagai anaknya. Karena motor milik saya yang 160 cc dirasa kurang nyaman, Bapak S menawarkan kepada saya untuk memakai kendaraan roda dua miliknya yang cc nya lebih kecil, alasannya supaya bisa bergantian membawa motor. Tentu saja saya tidak keberatan, lumayan bisa menghemat tenaga.

Masalah tidak muncul saat perjalanan berangkat, tapi dalam perjalanan pulang. Kami diberhentikan polisi sekitar 10 km lagi dari rumah Bapak S. Polisi yang memberhentikan kami cukup sopan menanyakan kelengkapan surat-surat kendaraan. Syukurlah SIM dan STNK lengkap, tapi soal spion yang jadi masalah, karena spion sebelah kanan kacanya memang tidak ada. Ini yang didebat sopan oleh polisi yang merazia kami.

Polisi itu menyampaikan bahwa spion yang kacanya tidak ada termasuk  pelanggaran aturan keselamatan berlalu lintas, wajib ditilang dan mengikuti sidang. Saya yang membawa kendaraan memohon untuk dimaklumi, dan beralasan belum sempat mengganti spion kendaraan. Namun polisi tersebut tetap mengatakan harus ditilang dan menjalani sidang. 

Sembari mengeluarkan surat tilang, polisi tersebut masih menanyakan banyak hal kepada kami, bapak dari mana, mau kemana, habis acara apa, dan sejumlah nasehat tentang keselamatan berlalu lintas sampai sedikit menekankan apa susahnya mengganti spion yang sudah rusak demi keselamatan diri sendiri.

 Tangannya belum juga menulis di surat tilang. Sebagai orang yang bersalah, kami hanya menjawab sekedarnya. Setelah sejumlah nasehat disampaikan secara fasih, polisi tersebut menawarkan pilihan lain dari sanksi yang harus kami terima.  Penyelesaian masalah ala indonesia, kekeluargaan  Kami boleh memilih apakah menerima tilang dan mengikuti sidang atau  penyelesaian masalah ditempat dengan cara membayar  Rp. 50.000,-. 

Tentu pilihan kedua lebih ringan, karena terbayang jauhnya tempat sidang yang hampir dua jam dari rumah Bapak S dan lebih hemat biaya mengikuti opsi kedua ketimbang opsi pertama.  Pilihan rasionalnya adalah kekeluargaan saja, berikan uang Rp. 50.000,- kepada oknum dan selesai masalah.

Namun saya kaget ketika Bapak S meminta surat tilang saja dan bersedia mengikuti sidang. Saya tidak berani memberikan masukan kepada Bapak S soal pilihannya, takut menyinggung rasionalitasnya. Sekarang giliran oknum polisi yang berusaha keras merasionalkan ke Bapak S bahwa opsi kedua lebih mudah dan murah meriah. Tapi Bapak S kekeuh dengan pendiriannya. Perdebatan kembali terjadi antara pak polisi dan Bapak S dan suasananya tidak lagi sopan. Alhasil surat tilang diberikan dan tentu saja sidang harus diikuti Bapak S.

Diperjalanan pulang saya memikirkan soal rasionalitas hukum Bapak S dan rasionalitas  oknum  polisi tadi. Padahal untuk menempuh perjalanan ikut sidang Bapak S bisa mengeluarkan biaya 4 kali lipat dari opsi kekeluargaan yang ditawarkan oknum polisi tadi. Sesampainya di rumah Bapak S, saya dengan terpaksa meninggalkan uang Rp. 300.000,-  dengan alasan untuk mengganti bensin motornya.

Masih soal penegakkan hukum. Kakak ipar yang sudah biasa panik semisal soal kucing masuk rumah pun, sekali ini paniknya luar biasa dengan masalah yang menimpa anaknya. Anaknya mengalami kecelakkaan roda dua. Korbannya mengalami patah tulang kaki. Upaya kekeluargaan sudah diusahakan guna menghindari pasal kelalaian yang menyebabkan orang mengalami luka atau cacat fisik. 

Hukumannya cukup lumayan maksimal 1 tahun penjara atau denda 2 juta rupiah. Kakak ipar menawarkan membantu biaya pengobatan sebesar 5 juta rupiah kepada korban, namun keluarga korban menolak dan mengajukan syarat kekeluargaan sebesar 25 juta rupiah. Kekeluargaan mengalami jalan buntu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun