Mohon tunggu...
Yodha Haryadi
Yodha Haryadi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Jakarta citizen that concerns on development for prosperity and better life: \r\n"I love you when you bow in your mosque, kneel in your temple, pray in your church. For you and I are sons of one religion, and it is the spirit." (Gibran)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memaknai KAA pada Masa Presiden Jokowi

10 Juni 2015   08:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:08 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konferensi Asia Afrika April 1955 sepertinya berbeda dengan KAA April 2015. Enam puluh tahun yang lalu, 29 perwakilan negara Asia dan Afrika yang hadir di Indonesia bersemangat memperjuangkan anti-kolonialisme, karena memang belum semua negara yang hadir lepas dari penjajahan seperti Sudan dan Ghana. Sedangkan KAA tahun 2015 yang dihadiri 106 perwakilan negara sahabat 2 bulan yang lalu di Indonesia, memiliki semangat untuk menciptakan tatanan ekonomi global baru yang diharapkan lebih terbuka untuk negara-negara berkembang. Lebih jauh lagi, pemikiran atas solusi masalah ekonomi dunia tidak terbatas pada mainstream Bank Dunia, Bank Pembangunan Asian, dan lainnya. Sebenarnya wajar saja pemikiran dalam pidato Presiden tersebut, sebuah keinginan untuk menciptakan inovasi arsitektur keuangan global dari pengalaman 60 tahun menjalani semangat Asia-Afrika.

Pembangunan ekonomi Indonesia memang belum secermelang Malaysia, Korea Selatan, atau China, meskipun masih lumayan dibandingkan dengan India. Sejak terlepas dari penjajahan, Indonesia banyak dibantu oleh lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia kemudian Bank Pembangunan Asia terutama untuk pembangunan infrastruktur yang memang membutuhkan pembiayaan besar. Sementara untuk pembangunan manusia termasuk peningkatan kapasitas aparatur pemerintah, pendidikan dasar, kesehatan, dan demokrasi serta pemulihan bencana banyak dibantu oleh lembaga-lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mulai tahun 2008, sepertinya pembangunan ekonomi Indonesia telah meningkat dan tidak lagi menjadi prioritas untuk dibantu oleh negara-megara maju maupun lembaga internasional. Indonesia tidak lagi berhak mendapatkan pinjaman lunak dengan bunga 0% dari Bank Dunia, maupun hibah berlimpah dari lembaga-lembaga PBB. Bantuan internasional telah bergeser untuk negara-negara yang kurang mampu di sekitar Afrika, sebagian Timur Tengah, atau Asia Selatan.

Berdasarkan website Bank Dunia per 2011, kondisi umum ekonomi negara dapat dibedakan menjadi 3 besar kategori yakni negara berpenghasilan rendah untuk pendapatan per kapita sama dengan atau kurang dari US$ 1,025. Sedangkan negara berpenghasilan menengah level bawah sekitar US$ 1,026 - US$ 4,035. Kemudian negara berpenghasilan menengah level atas sekitar US$ 4,036 - US$ 12,475. Untuk negara berpenghasilan tinggi sama dengan atau lebih dari US$ 12,476. Indonesia memiliki pendapatan per kapita sekitar $ 3,000 pada tahun 2011, sehingga termasuk dalam klasifikasi sebagai negara berpenghasilan menengah tingkat bawah. Kemudian informasi dari Kementerian Keuangan, tahun 2013 Indonesia memiliki pendapatan per kapita sekitar US$ 5,170 sehingga sepertinya bisa dikategorikan sebagai negara berpenghasilan menengah level atas. Setiap tahun penghitungan pendapatan per kapita berubah, demikian juga dengan penyesuaian kategorisasi, berdasarkan pertumbuhan ekonomi pada tahun yang bersangkutan. Namun demikian, tingginya pendapatan per kapita suatu negara tidak berarti bebas dari kemiskinan. Kemiskinan dan kesenjangan masih jamak ditemui pada negara yang telah menyentuh kategori negara berpenghasilan menengah. Untuk Indonesia, angka kemiskinan menunjuk 11,66% per 2012 dan sepertinya belum banyak berubah pada 2014. Kemiskinan terjadi terutama pada area pedesaan. Sementara disparitas pada daerah khusus dan tertinggal meliputi distribusi pendapatan, kualitas pendidikan, dan kesempatan kerja.

Melihat perkembangan dan partumbuhan ekonomi Indonesia, penyelenggaraan KAA bulan April 2015 sekiranya memberikan makna sebagai berikut:

Pertama, dunia melihat Indonesia sebagai penyeimbang kekuatan global. Posisi ini mendorong setiap kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan pihak luar negeri yang berminat, memerlukan strategi yang lebih matang dan negosiasi handal bagaimana manfaat kerjasama dapat dioptimalkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk kawasan Asia-Afrika, Indonesia dilihat sebagai salah satu pemimpin termasuk bidang ekonomi sehingga permintaan bantuan ekonomi mengalir deras. Apalagi tema utama KAA tahun ini adalah Advancing South-South Cooperation. Negara-negara di belahan bumi bagian selatan diharapkan memperkuat kerjasama pembangunan dengan saling menghargai dan menguntungkan. Pada KAA 1955, tema solidaritas sangat kuat bergaung untuk negara-negara yang sedang memperjuangkan pembebasan dari penjajahan. Untuk saat sekarang solidaritas lebih kepada kerjasama untuk perbaikan ekonomi nasional misalnya melalui perdagangan di antara negara-negara Asia-Afrika yang tercatat mengalami peningkatan.

Untuk kepentingan dalam negeri, semestinya KAA dapat memupuk rasa nasionalisme. Keuntungan Kota Bandung yang bisa meraup devisa 100 milyar sebagai lokasi penyelenggaraan, semestinya menyetrum ke wilayah semangat kebangsaan. Indonesia bukan lagi bangsa yang menengadahkan tangan untuk dibantu, namun bisa berada di atas untuk membantu. Tidak mudah mengubah kesadaran bahwa di bawah Indonesia masih banyak bangsa lain yang kondisinya lebih kurang beruntung. Membantu bangsa lain atau orang lain yang membutuhkan tidak harus menunggu sampai berlebih dulu atau menjadi kaya. Namun membantu yang membutuhkan saat kita bisa membantu mungkin lebih bermakna.

Makna berikutnya, posisi negara yang kian disegani semestinya berpengaruh tidak hanya pada pimpinan tertinggi, atau Presiden RI. Namun perubahan pola pikir dan kapasitas individu manusia Indonesia juga semestinya menjadi lebih baik. Kalau belum merubah, mulailah untuk berpikir positif. Berpikir positif membangkitkan energi positif, menumbuhkan inisiatif, dan menghasilkan rasa bahagia. Kemudahan berkomunikasi, berbagi informasi, dan mengekspresikan rasa positif seperti solidaritas, empati, dukungan, atau lainnya lewat internet atau medsos semestinya meningkatkan kapasitas dalam berpikir dan menimbang rasa untuk hidup yang lebih baik. Kata Einstein, hidup seperti halnya naik sepeda, supaya tidak jatuh tetaplah mengayuh. Teruslah berproses menuju kebaikan dan kebaikan dalam hidup. Salam.

Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving. ― Albert Einstein

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun