Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tulisan Mbeling: Sopan-santun Pada Saat Membahasakan Kejahatan

9 Mei 2013   01:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:52 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kata orang, bahasa menunjukkan bangsa. Suatu bangsa dikategorikan sebagai bangsa yang beradab atau berbudaya luhur, bisa dilihat dari segi bahasa yang dipergunakan sehari-hari dalam komunikasi antarindividu alias interaksi sosial alias pergaulan maupun dokumentasi-dokumentasi bahasa, semisal karya-karya literasinya.

Sementara itu menurut si sahibul hikayat, Indonesia adalah suatu bangsa yang sangat menjunjung tinggi nilai sopan-santun. Salah satunya adalah bahasa. Orang-orang dulu dianggap berilmu tinggi atau berpendidikan tinggi alias kaum cerdik-pandai, apabila mampu menggunakan bahasa tingkat adiluhung. Sebelum mahir dalam tulis-menulis alias bahasa tulisan, mereka menggunakan bahasa lisan. Misalnya berpantun atau ber-parikan.

Kemudian, ketika anak-anak masuk dunia pendidikan formal, diperkenalkan dan diajarkanlah berbahasa yang penuh sopan-santun, melalui pelajaran Bahasa Indonesia. Teori semantik, etimologi, makna kata yang mencakup arti kata, homonim-sinonim, perubahan makna, dan nilai rasa, eufemisme, etika bahasa, estetika, dan segala teori bahasa sekaligus filsafatnya.

Hal itu pun bisa memberi suatu tanda yang membedakan status sosial seseorang dengan seseorang lainnya. Seseorang yang selalu bergaul dalam lingkungan manusia yang berilmu tinggi atau bertata krama, pastilah tidak terbiasa perkataan yang tidaklah sopan. Berbeda dengan seseorang yang berada dalam lingkungan manusia yang berbahasa tanpa mengindahkan nilai-nilai kesopanan dan kepatutan.

Di samping itu, dalam pergaulan masyarakat sehari-hari, sopan-santun berbahasa semakin sering digalakkan, terutama melalui peran media massa. Ungkapan Jawa, “ngono yo ngono ning ojo ngono” (begitu ya begitu tetapi jangan begitu) merupakan sebuah anjuran untuk lebih “berbudaya” semisal “berbudaya bahasa”. Dengan berbudaya atau beradab dalam bahasa, niscaya tampaklah mutu keilmuan dan keimanan seseorang; mutu pendidikan dan kebijaksanaan seseorang; mutu pikiran dan tindakan seseorang.

Demikian juga dalam membahasakan kejahatan, eh mohon maaf sebesar-besarnya, membahasakan tindakan-tindakan yang kurang terpuji karena tidak sesuai dengan tatanan kebaikan yang dikenal akrab dalam masyarakat luas. Pertama-tama, kata atau pilihan kata (diksi). Contoh korupsi. Jangan disebut “mencuri” apalagi “maling”, melainkan korupsi. Contoh lainnya kolusi. Jangan bilang “suap” atau “sogok”, tapi kolusi. Mirip lagi, bingkisan, hadiah atau gratifikasi. Jangan bilang “suap” tetapi pergunakanlah istilah yang lebih keren bin berbudaya adiluhung, “bingkisan”, “hadiah”, “bonus”, “fee” atau “gratifikasi”.

Kedua, kalimat atau gabungan dua kata atau lebih. Untuk mengatakan sesuatu, kendati buruk sekalipun, pergunakanlah kata yang sopan dan nada yang santun. Misalnya hendak mengatakan “dia bodoh”, bilang saja “dia kurang paham”. Atau “mereka bertengkar”, katakan bahwa “mereka salah paham”. Atau “penjahat itu ditembak”, katakan dengan kalimat “si pelaku terkena timah panas”. Atau “dia membunuh”, katakan dengan “dia menghilangkan nyawa” atau “dia tidak sengaja melakukan perbuatan yang menghilangkan nyawa”.

Contoh lainnya, “dia korup”, pergunakanlah kalimat “dia melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku secara sah”, atau “dia melakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukannya”, atau “dia melakukan hal yang kurang tepat”. Walaupun jelas bahwa “dia koruptor” alias “dia maling” alias “dia garong” , katakanlah bahwasannya “dia tidak prosedural” atau “dia kurang rasional” atau “dia melakukan suatu tindakan yang melampui batas wewenangnya”.

Sekali lagi, seperti yang telah disinggung sejak awal, bahwa bahasa menunjukkan bangsa, dan Indonesia adalah suatu bangsa yang sangat menjunjung tinggi nilai sopan-santun dalam berbahasa. Tidak ada satu atau sesuatu apa pun yang diperbuat oleh manusia atau orang-orang sebagai sesuatu yang pantas dipandang atau dinilai apalagi diucapkan sebagai kejahatan, akan tetapi perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan kurang berkenan, kurang bijaksana, kealpaan, bukan suatu niat, kesengajaan, keteledoran, dan lain-lain, yang sebaiknya memang dalam lingkup kebahasaan yang sangatlah patut bagi kaum berilmu-beriman-beradab.

Oleh karenanya pula, dalam menulis sekalipun, alangkah baik dan cerdasnya apabila menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat yang bercita rasa tinggi untuk mengatakan sesuatu yang dikategorikan jahat tetapi diganti dengan suatu perbuatan yang kurang berkenan dalam tatanan sosial-budaya masyarakat yang bijaksana. Betapa bijaksananya lagi jika tidak meniru gaya tulisan mbeling ini. Paham? Kalo nggak paham juga berarti masih terus saja tololnya! Orang tolol sok jadi penulis di kompasiana malah pakai embel-embel mbeling lagi!

*******

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun