Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perdana Menteri Bayangan dalam Rezim Jokowi

19 Maret 2019   21:58 Diperbarui: 27 Maret 2019   17:16 7813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perdana menteri bayangan dalam rezim Jokowi, apa maksudnya? Saya tidak bermaksud apa-apa selain terheran-heran sendiri ketika mengamati berita di media-media daring (online).

Sepengetahuan saya, yang lahir dalam rezim Soeharto (Presiden II RI), tidak pernah ada perdana menteri di Indonesia karena sistem pemerintahan RI adalah presidensial. Kecuali sebutan lainnya, yaitu "Ketua Presidium Kabinet" (Soeharto dari Sekber Golkar, 26-7-1966 s. d. 12-3-1967, dan 12-3-1967 s. d. 17-10-1967). Setelah 1967 sampai 2014 (akhir rezim SBY) tidak ada perdana menteri.

Memang, dari mata pelajaran Sejarah Indonesia ketika di bangku SMP (Maria Goretti, Sungailiat, Bangka, Babel), saya mengetahui bahwa di Indonesia pernah ada perdana menteri, di mana ketika itu pemerintahan Indonesia menganut sistem parlementer. Keberadaan perdana menteri itu terjadi dalam rezim Soekarno.

Sutan Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Mohammad Hatta, Natsir, Wilopo, Ali Sastroamidjojo, dan Djuanda merupakan perdana menteri yang sangat melekat dalam ingatan saya. Mungkin karena guru saya dulu, Soetardjo, B.A., terlalu sering mengadakan ulangan harian yang bersifat dadakan sehingga, mau-tidak mau, saya harus menghafal nama mereka meskipun nilai saya selalu minimalis.

Perdana Menteri Orde Lama
Indonesia memiliki beberapa perdana menteri. Itu pun terbagi dalam tiga era, yaitu Era Perjuangan Kemerdekaan, Era Demokrasi Parlementer, dan Era Demokrasi Terpimpin.

Pada Era Perjuangan Kemerdekaan terdapat empat perdana menteri. Pertama, Sutan Sjahrir (Partai Sosialis Indonesia/PSI) menjabat selama tiga periode ( 14-11-1945 s. d. 12-3-1946, 12-3-1946 s. d. 2-10-1946, dan 2-10-1946 s. d. 3-7-1947).

Kedua,  Amir Sjarifoeddin (PSI) selama dua periode (3-7-1947 s. d. 11-11-1947, dan 11-11-1947 s. d. 29-1-1948).

Ketiga, Mohammad Hatta (non-partai) selama tiga periode (29-1-1948 s. d. 4-8-1948, 4-8-1948 s. d. 20-12-1949, dan 20-12-1949 s. d. 6-9-1950), di mana sempat muncul pejabat sementara bernama Soesanto Tirtoprodjo (non-partai) pada 20-12-1949 s. d.21-1-1950. Keempat, Abdul Halim (non-partai) yang juga berbarengan dengan M. Hatta, yaitu 21-1-1950 s. d. 6-9-1950.

Pada Era Demokrasi Parlementer terdapat lima perdana menteri. Pertama, Muhammad Natsir dari Partai Masyumi (6-9-1950 s. d. 27-4-1951). Kedua, Soekiman Wirjosandjojo (27-4-1951 s. d. 3-4-1952).

Ketiga, Wilopo dari Partai Nasional Indonesia (3-4-1952 s.d. 30-7-1953). Ketiga, Ali Sastroamidjojo dari PNI (30-7-1953 s. d. 12-8-1955, dan 24-4-1956 s. d. 9-4-1957). Keempat, Burhanuddin Harahap dari Masyumi (12-8-1955 s. d. 24-4-1956). Kelima, Djuanda Kartawidjaja dari PNI (9-4-1957 s. d. 9-7-1959).

Pada Era Demokrasi Terpimpin hanya satu perdana menteri, yaitu Soekarno sendiri. Bung Karno--panggilan aduhainya--merangkap perdana menteri selama tujuh periode, sejak 9 Juli 1959 s. d. 25 Juli 1966.

"Saya Menteri Presiden dan Perdana," kata Bung Karno dalam pidato-pidatonya sejak 5 Juli 1959 hingga sebelum kejatuhannya di tangan rezim Orde Baru Soeharto.

Di samping Bung Karno, ada Djuanda Kartawidjaja dengan jabatan "Menteri Pertama" sejak 9-7-1959 s. d. 13-11-1963. Saya tidak mengetahui, apa perbedaan antara "perdana" dan "pertama" dalam urusan menteri-mementeri, selain kini ada kartu perdana tanpa kartu pertama.

Perdana Menteri Bayangan Orde Milenial
Lantas, bagaimana bisa saya terheran-heran hingga berpikir bahwa dalam rezim Jokowi (2014-2019) ini terdapat seorang perdana menteri bayangan? Bukankah sejak rezim Soharto, sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial?

Nah, di sinilah "sial"-nya pikiran saya setelah mengikuti perjalanan bangsa ini sekaligus rajin membaca berita. Saya malah menemukan keberadaan seorang perdana mentari, meskipun tidak pernah ada secara de jure. "Perdana mentari bayangan", begitu istilah saya.

Siapakah "perdana menteri bayangan" yang mendadak muncul dalam pikiran "sial" saya?

Namanya Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Dalam Kabinet Kerja Jokowi, jabatan LBP adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.

Mengapa bisa begitu ("perdana menteri bayangan")?

Begini kalau begitu. Berita terakhir yang saya baca di Detik.com, Selasa, 19/3/2019, berjudul "Luhut Kumpul Bareng Pengusaha India Bahas Infrastruktur".

Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan bertemu para utusan dan pengusaha India di acara Forum Infrastruktur India-Indonesia atau India-Indonesia Infrastructure Forum. Forum ini diselenggarakan untuk yang kedua kalinya.

Luhut baru tiba di lokasi, The Westin Jakarta, Selasa (19/3/2019) pukul 17.15 WIB, sementara pertemuan sudah berlangsung sejak 16.00 WIB.

Pertemuan ini dalam rangka menjalin hubungan kerja sama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan melibatkan India.

Utusan dari India yang hadir terdiri dari 30 pimpinan perusahaan alias CEO yang bergerak di sektor infrastruktur dengan fokus pada otomotif, penambangan, pelabuhan, listrik, bandara, manajemen sumber daya air, sistem manajemen rumah sakit, industri 4.0 dan solusi TI untuk proyek infrastruktur.

Lho, apa urusan seorang menteri kemaritiman dengan otomotif, penambangan, listrik, bandara, manajemen sumber daya air, sistem manajemen rumah sakit, industri 4.0, dan solusi TI untuk proyek infrastruktur, ya?

Tidak hanya berita itu, tetapi juga berita lainnya, "Datang ke Pantai Palabuhanratu, Luhut Dicurhati Nelayan" pada hari yang sama (9/3). LBP melakukan kunjungan kerja ke Kampung Nelayan Cikahuripan, Desa Cisolok, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di sana LBP melihat lokasi dermaga nelayan yang mangkrak selama 6 tahun.

Soal dermaga nelayan, dalam pikiran saya, tergambar wajah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Mengapa di berita itu justru LBP, ya?

Ada lagi berita sebelumnya, "Panggil Badan Siber Nasional, Luhut Bahas Keamanan", 18/3. LBP melakukan koordinasi dengan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.  

Soal siber dan sandi negara, dalam pikiran saya tergambar wajah Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo)  Rudiantara, dan Menteri Koordinator Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. Mengapa yang muncul di berita justru LBP?

Bersamaan pada hari itu, ada berita "Luhut: Kita di Jalur yang Benar Dalam Pengembangan Pariwisata". Di Gedung Bank Indonesia, Jakarta dan didampingi oleh Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya dan Gubernur BI Perry Warjiyo, LBP menyatakan pemerintah dalam jalur yang benar dalam pengembangan pariwisata. Demi devisa di 2019.

Mengapa LBP harus muncul lagi, ya? Tidak cukupkah Menpar Arief Yahya? Apakah Menpar Arief Yahya kurang becus dalam bekerja?

Juga berita "Neraca Perdagangan Surplus, Luhut Sebut Migas Masih Tekor" (18/3). Berita yang bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat itu ada tertulis, LBP belum begitu puas dengan surplus neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2019. Pasalnya, masih menyisakan pekerjaan rumah mengenai neraca perdagangan di sektor migas.

Saya justru heran, sampai urusan perdagangan dan migas pun harus muncul LBP. Entah di mana menteri yang terkait di bidang itu. Dan, masih ada lagi berita yang muncul dengan nama LBP di segala bidang kementerian, misalnya sawit, pesawat terbang Airbus, dan lain-lain.

Sepengetahuan saya, kata "kemaritiman" sebagai bidang seorang menteri terkaitan dengan urusan maritim atau laut, yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Hal-hal laut itulah wewenang seorang pembantu presiden. Bagaimana bisa seorang menteri koordinator kemaritiman  sampai memasuki wilayah bidang kementerian lainnya, ya?

Dari keheranan demi keheranan itu jadilah "sial" dalam pikiran saya setelah menekuri pemberitaan demi pemberitaan, bahwa dalam rezim Jokowi ini terdapat seorang "perdana menteri bayangan". Betapa repotnya LBP dengan urusan laut, darat, udara, dan dunia maya (siber) seakan-akan semua menteri belum mampu menunaikan tugas di bidang masing-masing. Ah, jangan-jangan, memang ada perdana menteri lagi di Indonesia.

Terlepas dari soal "perdana menteri bayangan", barangkali Museum Rekor Indonesia (MURI) bisa menganugerahkan rekor kepada LBP sebagai menteri yang paling sibuk, menteri paling banyak urusan, bahkan menteri serba bisa dalam Kabinet Kerja Jokowi.

Kesibukan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dengan infrastruktur, Menteri KP Susi Pudjiastuti setelah menenggelamkan 488 unit kapal, Menkeu Sri Mulyani mengatasi krisis dengan kehebatan rupiah di Asia dan penghargaan, dan menteri-menteri lainnya terlihat kalah dibandingkan dengan LBP.

Kalau memang kelak LBP mendapat anugerah dari MURI, tentu saja, saya tidak perlu heran. Dan, kalau saja benar bahwa LBP adalah perdana menteri dalam rezim Jokowi, keheranan saya pasti segera sirna. Begitulah maksud saya yang terheran-heran tadi.

*******
Balikpapan, 19/03/2019

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun