Mumpung masih hangat soal puisi karya Fadli Zon (FZ) pada 3/2, bahkan ulasan lugas "Fadli Zon dan Doa yang Ditukar" dari Khrisna Pabichara (8/2) menjadi tren minggu ini. Saya pun mencoba untuk berpendapat. Boleh, 'kan?
Pasalnya, saya membaca beberapa artikel sejenis itu menyebut judul puisi karya Sarjana Sastra Rusia itu dengan "Doa yang Tertukar". Sedangkan, setahu saya, judul aslinya "Doa yang Ditukar".
Doa yang Ditukar
doa sakral
seenaknya kau begal
disulam tambal
tak punya moral
agama diobral
doa sakral
kenapa kau tukar
direvisi sang bandar
dibisiki kacung makelar
skenario berantakan bubar
pertunjukan dagelan vulgar
doa yang ditukar
bukan doa otentik
produk rezim intrik
penuh cara-cara licik
kau Penguasa tengik
Ya Allah
dengarlah doa-doa kami
dari hati pasrah berserah
memohon pertolonganMu
kuatkanlah para pejuang istiqomah
di jalan amanah
Fadli Zon
Parung, Bogor, 3 Feb 2019
Lho, ada apa antara "Ditukar" dan "Tertukar"?
Saya bukanlah seorang pakar bahasa Indonesia. Hanya seorang arsitek sekaligus tukang gambar kartun. Tidak ada hubungannya dengan tulis-menulis (aksara) apalagi kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar, 'kan?
Akan tetapi (nah, "akan tetapi"), saya merasa ada yang kurang aduhai dengan prefiks (awalan) antara "Ditukar" dan "Tertukar", meskipun keduanya kata kerja pasif, selain salah satunya merupakan kata depan (preposisi), kata sifat, bahkan "Tertukar" sudah tidak sesuai dengan aslinya ("Ditukar").