Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golput di Antara Minoritas dan Menoritas

7 Februari 2019   02:27 Diperbarui: 12 Februari 2019   11:53 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kabar terbaru mengenai Golput dirilis Kumparan pada Senin, 4/2. Dari tayangan grafisnya terlihat tren jumlah (persentase) Golput meningkat di setiap Pemilu Serentak 5 tahunan. Pada 2004 (putaran II) terdapat 22,56%. Pada 2009 terdapat 27,91 %. Pada 2014 terdapat 30%.

Tidak mustahil tren golput akan meningkat lagi pada Pemilu Serentak 2019 ini. Ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), semisal Munir, dan kasus-kasus lainnya, semisal Novel Baswedan, berpotensi meningkatkan tren golput.

Belum lama ini pun muncul peristiwa-peristiwa yang sangat tidak elok dalam lingkaran petahana. Di antaranya ialah pernyataan "Siapa yang menggaji ASN" (31/1), "Jangan lewat jalan tol" (2/2), penahanan Ahmad Dhani (28/1), dan seterusnya.

Mungkin sebagian menilai bahwa kasus-kasus tersebut berkaitan dengan petahana yang bernomor 01 dalam Pilpres 2019, lantas berpikir, "Masih ada nomor 02, mengapa tetap golput?"

Nomor 02 pun belum bisa menjamin para golputer berubah pilihan. Kasus masa silam, pidato yang tidak berbobot, iming-iming modal usaha yang absurd, ketiadaan prestasi dalam pengelolaan wilayah sipil, dan seterusnya turut mendukung para golputer untuk bertahan hingga meningkatkan jumlahnya. Sebagian golputer tidak akan berspekulasi untuk pasangan 02 karena realitas sekaligus rasionalitas menjadi parameter paling utama.

Mungkin sebagian juga bertanya, "Pemilu 2019 bukan hanya Pilpres, mengapa masih golput untuk Pileg?"

Kasus seputar korupsi oknum DPR dan DPRD, caleg mantan koruptor, oknum wakil rakyat yang arogan-pongah, dan seterusnya merupakan menambah isian dalam daftar ketidakpercayaan kalangan golputer. Golputers pun tidak akan berspekulasi bahwa kalangan wakil rakyat akan "bertobat", dan bekerja dengan baik-benar.  

Patut dipahami bahwa sikap politik golputer sejati berlandaskan argumentasi yang kritis-idealis. Mereka termasuk pengamat yang sadar dan serius terhadap dinamika politik yang terjadi. Rasionalitas menjadi barometer yang tidak bisa ditawar.

Golput yang kritis-idealis berpijak pada kesadaran. Berbeda dengan "golput" yang berasal dari "ketidaksadaran". Tidak sadar ini pun terdiri dari dua jenis. Pertama, ikut-ikutan. Kedua, "digolputkan" alias korban ketidakbecusan oknum panitia pemilu dalam pendaftaran. 

Golput yang "sadar" memiliki dua karakter, yaitu golput aktif, dan golput pasif. Golput aktif akan datang ke tempat pemungutan suara (TPS), dan mencoblos hingga suara mereka tidak sah. Sementara golput pasif tidak akan datang ke TPS.

Golput yang "sadar" ini merupakan pilihan politik yang serius. Saking seriusnya, tidak sedikit golput yang menjadi objek olok-olokan atau cibiran dari kalangan non-golput. Ya, dalam suatu lingkungan jumlah golput cenderung minoritas, yang mudah terbaca ketika acara pencoblosan sudah berada dalam perhitungan suara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun