Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Lupa untuk Bahagia

27 Desember 2018   15:26 Diperbarui: 27 Desember 2018   15:46 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bahagia apabila tulisan dibaca oleh banyak orang, ya? Bahagia lagi apabila tulisan disukai oleh banyak orang, ya? Bahagia teramat sangat apabila tulisan dihujani pujian, ya?

Siapa pun yang menulis berhak untuk berbahagia ketika tulisannya dibaca, disukai, ataupun dipuji. Tidak ada aturan atau larangan untuk berbahagia. Berbahagia justru dianjurkan, meski tanpa anjuran pun bahagia bisa membuncah begitu saja.

Setiap orang, khususnya yang suka menulis, memiliki kebahagiaan masing-masing. Paling sederhana kebahagiaan itu adalah ketika tulisan selesai dan siap dipublikasikan. Ya, seumpama perempuan yang melahirkan, atau induk ayam yang bertelur.

Akan tetapi, kebahagiaan bisa bergegas bahkan berubah menjadi kesedihan ketika tulisan sekonyong-konyong disambut oleh kritikan, apalagi respons yang sarat ujaran negatif tanpa kajian apa pun. Belum sampai terlihat berapa puluh pembaca tetapi sudah disambut oleh tanggapan yang kurang menyenangkan.

Siapa pun yang menulis berhak untuk bersedih ketika tulisannya ditanggapi secara kurang menyenangkan. Tidak ada aturan atau larangan untuk bersedih. Bersedih memang tidak ada anjurannya, meski kesedihan bisa membuncah begitu saja.

Setiap orang, khususnya yang suka menulis, memiliki kesedihan masing-masing. Paling sederhana kesedihan itu adalah ketika tulisan tidak pernah terselesaikan alias hanya mengaduk-aduk isi kepala. Ya, seumpama perempuan yang hamil bertahun-tahun.

Akan tetapi, kesedihan bisa bergegas bahkan berubah menjadi kebahagiaan ketika kesadaran melingkupi seluruh pikiran dan perasaan, bahwa sejatinya tulis-menulis bukanlah sekadar untuk meraih hal-hal yang berasal dari luar diri melainkan sebuah proses tiada henti untuk mengolah dan mengelola diri. Sementara kesukaan atau ketidaksukaan pembaca hanyalah dampak--bukan destinasi wajib bagi suatu kreasi.

Siapa pun yang menulis berhak untuk sadar atau tidak sadar ketika tulisannya akan mendapat aneka tanggapan. Tidak ada larangan untuk sadar ataupun tidak sadar pada waktu menulis. Sadar atau tidak sadar, tulisan bisa rampung dan terpublikasi begitu saja.

Setiap orang, khususnya yang suka menulis, memiliki kesadaran ataupun ketidaksadaran masing-masing. Paling sederhana kesadaran ataupun ketidaksadaran itu adalah ketika jemari menari-nari di atas papan ketik. Entah apa perumpamaannya.

Apa pun itu, baik sadar atau tidak sadar, tetaplah jangan lupa untuk bahagia. Ya, bahagia karena bahagia merupakan bagian penting dalam kehidupan, selain sedih, sadar ataupun tidak sadar. Kalau bahagia sudah dilupakan, apalah makna sebuah kehidupan, bukan?

*******
Balikpapan, 27 Desember 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun