Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tsunami Selat Sunda dan Garis Sempadan Pantai yang Tergadai

24 Desember 2018   00:37 Diperbarui: 25 Desember 2018   02:13 2592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(mediatataruang.com)

Berita yang sedang ramai adalah tsunami Selat Sunda pada 22/12, pkl. 21.30 WIB. Keramaian tersebut bukan soal sebab, dan berapa jumlah korban, melainkan menghantam acara riung (gathering) perusahaan PLN di kawasan Tanjung Lesung, Pandeglang, Banten, yang mengundang artis dan grup band Ibu Kota.

Sebagian pemirsa media masih terfokus pada para pesohor (selebritis) yang menjadi korban, terutama meninggal dunia akibat terseret arus. Selain penggemar, ya, lumrah-lah kalau pemirsa lainnya juga menyoroti kabar mengenai kondisi pesohor yang korban di sana.

Akan tetapi sedikit saja yang benar-benar memperhatikan tata fisik kawasan pantai. Satu hal yang paling jelas, jarak panggungnya hanya 3 meter dari bibir pantai.

Ada masalah apa? 'Kan, panggung itu hanya bangunan temporer alias bisa segera dibongkar-pasang?

Garis Sempadan
Hal termudah yang dikenal banyak orang adalah garis sempadan bangunan (GSB) yang biasa diberlakukan pada setiap rumah. GSB merupakan garis batas imajiner yang tidak boleh dilampaui oleh bangunan.

Dalam pasal 13 Undang-Undang No. 28 Thn 2002 tertera, "Garis Sempadan Bangunan atau GSB adalah sebuah garis yang menjadi batas jarak bebas minimum dari sisi paling luar sebuah massa bangunan terhadap batas lahan yang dikuasai."

GSB yang umumnya dikenal dalam pemukiman adalah berpatokan dari jalan, yang tergantung pada fungsi dan kelas jalan itu sendiri. Ukurannya diambil dari tengah (as) badan jalan ke arah batas lahan yang akan dibangun. Umumnya pula kira-kira 3-5 meter dari batas antara lahan dan jalan.

Hal yang kurang umum, bahkan luput menjadi perhatian banyak orang adalah GSB di luar patokan dari tengah badan jalan. Misalnya tepi sungai, pantai, rel kereta api, dan jaringan listrik bertegangan tinggi.

GSB yang terkait secara langsung dengan rel kereta api, harus lebih dari 12 meter karena PT Kereta Api Indonesia (KAI) memiliki lahan 12 meter kanan-kiri dari rel kereta api. Lebih dari 12 meter itu karena, biasanya, ada jalan kecil di pemukiman sehingga jarak antara posisi rel dan bangunan bisa lebih dari 12 meter.

GSB yang terkait langsung dengan sungai, atau yang biasa dikenal dengan Garis Sempadan Sungai (GSS), yang juga tergantung bertanggul atau tidak, lebar badan sungai, dan lain-lain. GSS pada sungai tidak bertanggul dalam kawasan perkotaan minimal berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai dalam hal kedalaman sungai kurang atau sama dengan 3 meter.

GSS berjarak paling sedikit 15 meter untuk kedalaman lebih 3 meter sampai 20 meter. GSS berjarak paling sedikit 30 meter untuk kedalaman di atas 20 meter paling sedikit berjarak 30 meter. Dan lain-lain.

Ada juga Garis Sempadan Situ (waduk, bendungan, dam, atau danau). Di beberapa kota,  semisal Depok, Jabar, jarak antara bangunan dan tepi situ adalah 50 meter.

Bagaimana dengan Garis Sempadan Pantai (GSP)?

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai  yang ditandatangani pada 14 Juni 2016, yang dimaksud dengan sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat, sedangkan batas sempadan pantai adalah ruang sempadan pantai yang ditetapkan berdasarkan metode tertentu.

Perhitungan dan penetapan GSP terkait erat dengan karakteristik alam, kebutuhan ekonomi, budaya, bahkan pengalaman empiris dan historis seperti sejarah kejadian, keberadaan faktor ancaman terkait gempa, tsunami, erosi/abrasi, badai, dan banjir dari laut.

Sedangkan analisisnya menggunakan pendekatan metode matematis. Gempa diukur dengan kekuatan gempa. Tsunami diukur dari tinggi gelombang. Erosi/abrasi diukur dari perubahan garis pantai. Dan lain sebagainya.

Fungsi Garis Sempadan
Di luar hal estetika dan sarana-prasarana, GSB juga berfungsi dalam hal keamanan, baik keamanan bagi sebuah rumah, antarrumah, lingkungan, maupun kelestarian lingkungan.

Misalnya garis sempadan sungai yang menjadi ruang terbuka hijau, dimana saluran pembuangan atau sampah penduduk sekitar tidak langsung dibuang ke sungai/parit, dan meluapnya sungai/parit pun tidak berakibat parah terhadap bangunan sekaligus penghuninya.

Sementara fungsi GSP, paling tidak, dapat melindungi masyarakat atau orang-orang di sekitar pantai dari ancaman abrasi atau tsunami secara langsung. Perihal ekologi, ekosistem, kelestarian alam, dan seterusnya, tentu saja, sudah melalui analisis yang panjang dan peraturan yang berkelanjutan.  

Antara Aturan dan Realitas
Segala peraturan, baik daerah maupun pusat, telah dibuat dan pemberlakuannya sering berkelanjutan. Peraturan dibuat/ditetapkan pun, sebenarnya, bukanlah untuk membatasi geliat kehidupan masyarakat sekitar pesisir. Sebaliknya, justru merupakan tanggung jawab pemerintah (daerah/pusat) untuk melindungi warganya sendiri.

Pemerintah daerah setempat pun sewajibnya melakukan sosialisasi secara rutin mengenai garis sempadan. Kalau di daerah pesisir, ya, tentunya juga tentang GSP. Hal ini dilakukan supaya semua kalangan selalu mengingat dan memperhatikan kondisi sekaligus perkembangan di sekitarnya. Intinya, demi kebaikan (keamanan-kenyamanan) bersama.

Realitasnya, tidak sedikit pelanggaran yang terjadi. Banyak tempat wisata pesisir yang tidak terdapat media sosialisasi itu. Pengelolaan pesisir untuk pariwisata sering berjarak sangat dekat dengan bibir pantai, meskipun jejak sejarah maupun posisi pantai tergolong rawan dari bahaya abrasi, erosi, atau tsunami.

Tidak jarang pihak pengelola atau pengusaha pariwisata pesisir dikecam oleh sebagian orang atau kelompok sebagai pelaku utama dalam aneka pelanggaran. Padahal, penentu kebijakan justru berada di pihak pemerintah daerah setempat.

Ya, pemerintah daerah setempat justru merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran pembangunan dan pengelolaan kawasan pesisir. Aturan atau peraturan sudah jelas bahwasannya jarak antara bibir pantai dan bangunan adalah sekian-sekian meter.

Lantas apa lagi dalih dan dalil pelanggaran itu?

Terlalu banyak dalih dan dalil yang dilontarkan oleh pemangku kebijakan setempat. Panggung seperti peristiwa di Tanjung Lesung itu pun sekadar bangunan temporer yang bisa segera bongkar-pasang, meskipun, ya, sedikit menutup mata pada kabel beraliran listrik yang berada di sekitarnya.

Namun, begitu terjadi bencana di lokasi-lokasi yang memang rawan secara historis dan situasi mutakhirnya, semua hanya menjadi telanjur dan penyesalan secara berulang-ulang. Bukankah seekor keledai saja tidak sudi jatuh ke lubang yang sama?

Apa boleh buat, sekali lagi, takdir. Apa pun dalih dan dalil itu, pada akhirnya ketabahan selalu disumbangkan secara besar-besaran bagi para keluarga korban dalam setiap kondisi yang miris dan penuh isak-tangis. Entah sampai kapan pihak terkait berhenti berselancar di atas duka sesama.

*******
Balikpapan, 23 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun