Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Makanan Khas sebagai Juru Bicara Pariwisata Daerah

11 Desember 2018   20:09 Diperbarui: 13 Desember 2018   12:28 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari mudik ke Sungailiat pada 5-8 Desember lalu saya kembali ke Kupang, NTT. Sementara istri saya pulang ke Balikpapan, Kaltim.

Saya membawa oleh-oleh berupa makanan khas Sungailiat atau Bangka. Oleh-oleh dikemas dalam dua kardus yang sama beratnya, yaitu 12 kg. Perbedaannya hanya pada ukuran, dan isinya. Kardus berukuran besar berisi makanan khas yang paling besar ukurannya tetapi cukup ringan isinya.

Kardus berukuran sedang berisi oleh-oleh khusus untuk kawan saya sekaligus pengelola lembaga penelitian Institute of Resources Governance and Social Change (IRGSC), Dominggus Elcid Li. Di situ terdapat saucu (daging babi panggang, meski saya tidak makan makanan dari bahan babi). Saya sengaja memisahkannya karena seorang rekan penyair Kupang beragama Islam.

Tentu saja oleh-oleh tersebut terhitung kelebihan berat untuk bagasi. Kelebihan 4 kg, yang berasal dari saucu. Oleh-oleh yang dibawa oleh istri saya pun kelebihan beban seberat 2 kg. Padahal masih banyak oleh-oleh yang tidak bisa saya bawa karena keterbatasan dana, dan waktu.

Baru kali ini saya membawa oleh-oleh dalam jumlah banyak. Saya pikir, kapan lagi saya bisa kembali ke tempat rantau (Kupang) sebagaimana saya berangkat. Keluarga angkat dan kawan-kawan di Kupang belum pernah saya bawakan oleh-oleh dari Bangka karena saya selalu berangkat dari Balikpapan.

Berangkat dari Kupang dan kembali ke Kupang memang baru kali ini, bahkan mungkin satu kali ini saja seumur hidup saya. Sedangkan keluarga dan kawan-kawan di Kupang belum pernah ke Bangka.

Oleh sebab itu saya menyiapkan anggaran (bujet) khusus untuk oleh-oleh dalam jumlah lumayan banyak. Mumpung kembali ke Kupang, ya, saya perlu mengenalkan makanan khas Sungailiat kepada keluarga dan kawan-kawan di Kupang, tepatnya rekan-rekan di kantor IRGSC.

Bagi saya, kini saatnya mereka mengenal makanan khas Bangka, meski variasinya kurang lengkap. Lidah mereka layak untuk mencicipi makanan khas yang terolah secara berbeda dibandingkan dengan makanan khas Kupang atau NTT dari bahan dasar yang sama.

Selain itu, saya cukup lumayan mengenal Kupang dengan kekayaan hasil lautnya, khususnya ikan. Di samping banyak, harganya pun jauh relatif murah jika saya bandingkan dengan Balikpapan. Entahlah jika saya bandingkan dengan harga ikan di Bangka, tepatnya Sungailiat.

Sementara salah satu fokus IRGSC adalah pangan lokal. Dan, salah satu hajatan intelektual-ilmiah terkait dengan pangan yang pernah IRGSC selenggarakan adalah Seminar "Dampak Perubahan Iklim Pada Sistem Pangan Global dan Lokal" pada 7/8/2015 dengan para pembicaranya yaitu Dr. Ing. Jonatan Lassa (NTU), Blandina Bait (WFP Kupang), dan Philip De Rozari (Griffith University).

Oleh-oleh yang saya bawa didominasi oleh bahan dari ikan atau laut. Kerupuk, kempelang, keretek (getas), keretek telur cumi (kritcu), otak-otak, sambelingkung (abon ikan), keripik siput gunggung, dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun