Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Badut Psikopat Menista Pahlawan Sejati

9 November 2018   23:27 Diperbarui: 10 November 2018   11:56 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sultan Ageng Tirtayasa difoto oleh Rully Ferdiansyah, Banten

Setiap Hari Pahlawan 10 November, oh, alangkah ramai kata-istilah "pahlawan" digaungkan di seantero Nusantara. Mendadak riuh imbauan-imbauan untuk kembali menghormati jasa para pahlawan Indonesia.

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya," seru Presiden I RI Ir. Soekarno dalam pidato peringatan Hari Pahlawan 10 November 1961. 

Kata-kata mutiara Bung Karno itu pun senantiasa dikumandangkan oleh sekian orang Indonesia dalam rangka Hari Pahlawan, minimal melalui media sosial yang mudah sekali digapai oleh gawai mutakhir. Generasi milenial pun mudah menghafalnya.

Memang mudah sekali berbicara bahkan berkumandang lantang tentang pahlawan dan kepahlawanan. Akan tetapi, realitas masih menyuguhkan ironi yang miris.

Bahasa Indonesia

"Eh, kita ngomong ala-ala anak Jaksel yuk!"
"Oh... kayak literally, which is gitu ya?"

Begitu fenomena istilah "Anak Jaksel"--kebiasaan anak-anak muda di Jakarta Selatan dalam berkomunikasi dengan mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Fenomena yang berlangsung sejak 1 September 2018 itu sempat dikritik Ivan Lanin.

"Anak Jaksel" dalam "gado-gado" bahasa tidaklah sendirian. Ada lagi yang lebih parah, dan konyol. Misalnya, sebagian acara yang justru berkaitan dengan sastra Indonesia. "Launching buku", dimana bukunya berbahasa Indonesia dari Judul sampai isi. Acara itu diselenggarakan di Indonesia, dan dihadiri oleh orang Indonesia.

Kekonyolan ditambah dengan judul-judul buku berbahasa Inggris, padahal isinya  berbahasa Indonesia karena memang untuk pembaca Indonesia. Kekonyolan semacam ini justru sering kali dilakukan sebelum munculnya fenomena "Anak Jaksel".

Misalnya lagi, kegiatan bersama untuk suatu hajatan. Lomba CGH (Clean, Green, Health). Konyolnya jelas sekali. Bahasa Inggris dipakai untuk kegiatan yang panitia hingga peserta adalah orang Indonesia sendiri, dan dilaksanakan di Indonesia.

Sepakat atau tidak, "gado-gado" bahasa itu justru sedang memamerkan sikap kurang menghargai bahasa persatuan sekaligus perjuangan leluhur bangsa Indonesia yang berkumpul dalam Kongres Pemuda pada 27-28 Oktober 1928 yang telah menyebut "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia" sebagai tonggak pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Bisa dibayangkan, bagaimana leluhur bangsa Indonesia bisa berkumpul dalam kondisi perjalanan yang tidak selancar sekarang (2018) ini, 'kan?

Beliau-beliau bersusah payah untuk berkumpul, berdiskusi serius, dan menancapkan tonggak bangsa Indonesia tetapi cucu-cucunya atau generasi masa kini malah "bermain-main" bahasa seenaknya.

Upaya yang serius juga terlihat dengan adanya kantor bahasa di bawah pengelolaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagian upaya yang dilakukan adalah dengan menyepadankan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.

Patutkah kemudian jika generasi "kurang aduhai" ini menyerukan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya? 

Dasar Negara

1 Juni 1945 merupakan hari lahirnya Pancasila, yang merupakan dasar negara Indonesia yang kemudian diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dasar negara, fondasi negara, atau landasan ideologi negara sudah ditetapkan oleh para bapak pendiri bangsa.

Sudah jelas, 'kan? Sudah diajarkan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, 'kan?

73 tahun Indonesia berdiri dengan sejarah yang berupa "gempa" melalui pemberontakan terhadap dasar negara. Contohnya Pemberontakan DI/TII-Kartosuwiryo, Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan lain-lain.

Yang terdoktrin di benak orang Indonesia adalah komunisme-PKI sejak Musso 1948 di Madiun, dan partai sekaligus pergerakannya dibekukan melalui TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966. "Hantu-hantu"-nya masih "bergentayangan", 'kan?

Masih jelas dalam ingatan, 'kan?

Kemudian muncul Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sejak 1983 yang "mirip" dengan DI/TII lantas dibekukan oleh pemerintah pada 19 Juli 2017 berdasarkan pencabutan status hukumnya melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. Pembubaran itu pun sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Pembekuan sekaligus pelarangannya berkaitan dengan upaya HTI menggantikan Pancasila dengan Khilafah. Padahal dasar negara sudah mustahil diganti karena memang fondasi bangunanIndonesia. Kalau mau membuat dasar negara yang baru, ya, dirikanlah negara sendiri di luar Indonesia sana.

Mengapa sebagian orang Indonesia masih saja belum menyadari upaya HTI "merobohkan" bangunan Indonesia? Apakah mereka selalu saja segera lupa pada Ulang Tahun Kemerdekaan 17 Agustus yang setiap tahun diperingati dan dirayakan di seluruh Nusantara? 

SARA

Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sudah jelas, ya?

Peristiwa terbaru berjudul "Tampang Boyolali" pada 30 Oktober 2018 merupakan persoalan serius atas rasa kebangsaan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Tidaklah patut menjadi bahan lawakan sekaligus membawa "prasangka kelas". Hal ini tidak perlu repot dikaitkan dengan pro-kontra capres-cawapres nomor urut sekian.

Menertawakan atau mengolok-olok SARA sama saja dengan menertawakan perjuangan para pahlawan untuk kemerdekaan Indonesia. Beliau-beliau sudah mengorban jiwa-raga, nyawa-harta, dan seluruh hidup untuk kedaulatan Indonesia.

Selain itu, solidaritas kesukuan yang "berlebihan" dan  suatu waktu menggetarkan rasa kebangsaan Indonesia melalui "kontak fisik" pun merupakan upaya memungkiri perjuangan para pahlawan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan dari Talaud sampai Rote. 

Korupsi-Kolusi

"Korupsi menghambat pembangunan" merupakan syair lagu "Anak Desa"-nya Muchlas Ade Putra pada awal 1980-an. Sudah lama sekali, ya?

Pada 30 Mei 2015 atau sekitar 15 tahun kemudian muncul istilah "oli pembangunan" untuk menyepakati tindak pidana korupsi-kolusi. Tentu saja istilah itu tidaklah jauh dari licinnya para koruptor yang bergeliat serta bergerilya dalam upaya memperkaya diri-keluarga, dan kolega, baik tingkat daerah maupun pusat.

Anggaran proyek nasional masih saja "digerogoti" oleh sebagian oknum pemangku kebijakan. Biasanya sekitar 30-40% dari total anggaran menjadi bancaan oknum-oknum terkait. Tertangkapnya segelintir oknum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan indikasi penggerogotan yang serius itu.

Sepakat atau tidak, korupsi-kolusi merupakan tindakan nyata dalam penghinaan terhadap para pahlawan Indonesia yang rela mengorbankan seluruh hidup untuk berdiri dan berdaulatannya Indonesia hingga mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

Patutkah para koruptor, baik hanya sekian juta rupiah hingga totalnya mencapai triliunan rupiah, berteriak lantang "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya"?

Dan, bukankah uang korupsi berjuta-bermiliar-bertriliun rupiah itu berguna bagi banyak orang yang sering kali sekadar "tunggangan wajib kampanye"?

Sejatinya para koruptor, baik yang tertangkap maupun yang masih berkeliaran menggunakan seragam, adalah barisan pengkhianat terhadap para pahlawan bangsa!

Bukan hanya kebiasaan melakukan korupsi-kolusi, tetapi juga pada setiap peringatan Hari Pahlawan oknum-oknum berseragam itu bisa fasih mengumandangkan kata mutiaranya Bung Karno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya." Tidaklah keliru jika koruptor divonis sebagai psikopat oleh kalangan psikolog.

Di samping itu, hukuman kurungan selama 8-15 tahun masih terlalu ringan jika dibandingkan dengan nyawa-nyawa yang pergi meninggalkan raga tanpa bisa dikenali. Bahkan, di penjara pun para koruptor masih bisa "bersenang-senang". Misalnya saja di Lapas Sukamiskin yang beritanya sering mencuat, dan terakhir heboh pada Juli 2018.

Bentrok Sesama Warga Negara

Penggemar sepakbola Indonesia masih ingat, 'kan, pada Haringga Sirila?

Pendukung Persija Jakarta itu tewas dikeroyok oleh belasan pendukung Persib Bandung menjelang laga Persib melawan Persija pada Minggu, 23 September 2018, pukul 13.00. Peristiwa tersebut terjadi di area Pintu Biru Stadion Gelora Lautan Api, Bandung.

Kekerasan, baik pengeroyokan dan bentrokan antarpendukung tim sepakbola bukanlah berita baru dan langka. Di samping itu, sebelumnya, ada juga kekerasan terhadap perangkat pertandingan, semisal Wasit Abdul Razak pada saat memimpin laga Persegres Gresik United melawan Persiwa Wamena pada ajang Liga 2 di Stadion Laskar Joko Samudro, Sabtu, 15 September 2018.

Jangan lupa pula, kekerasan lainnya yang datang justru dari Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi. Edy terekam kamera menampar suporter PSMS Medan dalam laga melawan Persela Lamongan di Stadion Teladan, Jumat, 21 September 2018.

Di luar sepakbola, bentrokan antarsesama putera-puteri Indonesia sering mengisi lembaran berita, baik di media massa maupun media sosial-daring. Terlalu panjang daftarnya jika diuraikan dalam tulisan ini, apalagi kalau dikumpulkan dari seluruh penjuru Nusantara.

Dan, di luar para pelaku aksi kekerasan sesama Indonesia, provokator bahkan dalang tragedi kemanusiaan patut diduga menderita psikopat akut. Biasa-jamaknya kalangan psikopat akut ini adalah oknum-oknum tokoh masyarakat, yang tidak gugup ketika mengumandangkan "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya". 

Pahlawan-pahlawan Lainnya

Agak melenceng dari pemahaman tentang pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan, ada "pahlawan" lainnya yang diperlakukan "kurang baik" dan melanjutkan realitas tragedi kemanusiaan. 

Misalnya kasus kekerasan yang menimpa beberapa "pahlawan tanpa tanda jasa" alias guru. Generasi penerus Ki Hajar Dewantara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ini semakin sering mengalami tindakan kurang menyenangkan dari murid dan orang tua murid.

Kekerasan murid terhadap guru yang menghebohkan dunia pendidikan Indonesia dialami oleh Ahmad Budi Cahyono (26). Guru kesenian ini akhirnya meninggal dunia setelah dianiaya muridnya, berinisial HI, di SMAN 1 Torjun, Sampang, Jawa Timur, pada Kamis, 1 Februari 2018.

Kemudian kekerasan orang tua murid terhadap guru. Pada Kamis, 18 Oktober 2018 Guru Bahasa Inggris Makrina Bika (57) dianiaya orang tua murid di dalam ruang kelas SMA Negeri 4 Kota Kupang, NTT.

Selengkapnya adalah penganiayaan murid dan orang tuanya terhadap guru. Pada Rabu, 24/5/2017, Guru Dasrul diumpat dengan kata-kata kotor setelah menegur seorang muridnya berinisial AS di SMKN 2, Makassar. Lalu Dasarul "mendisplinkan" muridnya. Bukannya sadar-patuh, AS malah mengadukan hal itu ke ayahnya, AA. Sang ayah naik pitam dan bersama AS mendatangi dan seketika memukul Dasrul.

Selain "pahlawan tanpa tanda jasa", ada juga "pahlawan devisa". Pahlawan devisa adalah istilah untuk para buruh migran Indonesia (BMI) alias "Tenaga Kerja Indonesia" (TKI), termasuk tenaga kerja wanita (TKW).

Predikat "pahlawan devisa" itu disandang mereka karena sebagian besar upah jerih-payah dikirimkan ke Indonesia untuk keluarga masing-masing. Artinya, perputaran uang tetap kembali kembali ke Indonesia.

Menurut Katadata.Co.Id edisi 7 Mei 2018, total jumlah TKI mencapai 1,3 juta orang. Mayoritas TKI berprofesi sebagai pekerja domestik, pekerja perkebunan, dan pekerja konstruksi.

Total kiriman uang (remitansi)  yang dihasilkan TKI s.d. November 2017 sebesar US$ 8,79 miliar atau sekitar Rp12.455,5 triliun (kurs 1 dolar AS = Rp14.500). Pada tahun 2016 Bank Dunia mencatat kontribusi remitansi mencapai US$8,9 miliar.

Persoalan paling mengenaskan, dan masih saja terjadi bukanlah perihal kiriman uang menjadi devisa negara, melainkan kiriman raga tanpa nyawa ke kampung halaman. Apalah arti devisa bagi negara jika nyawa dipertaruhkan begitu, 'kan?

Dari data BNP2TKI.Go.Id edisi Cetak 3 Oktober 2018, total TKI yang meninggal dunia adalah 142 TKI s.d. September 2018. Periode sebelumnya, 178 TKI s.d. September 2017, dan 150 TKI s.d. September 2018.

Di NTT, s.d. Agustus 2018 ada 73 TKI pulang tinggal raga, bahkan sebagian tidak utuh. Tak pelak pada 5 September Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat segera melakukan moratorium pengiriman TKI asal NTT.

Persoalan yang paling mendesak bukanlah ketika jenazah pulang, melainkan justru sebelum berangkat. Perekrutan, penampungan, pengelolaan hingga bagaimana perlindungan terhadap TKI di luar negeri. Sebagian agen culas-ilegal masih saja berkeliaran dan "bermain mata" dengan oknum-oknum terkait hanya demi materi (uang) meski mengorbankan sesama warga negara Indonesia. 

Dan, sengaja dikaitkan dengan tema Hari Pahlawan, apakah para pahlawan berjuang untuk kemerdekaan dari segala penjajahan, termasuk perbudakan dan perdagangan manusia (human trafficking) agar di kemudian hari para TKI pulang hanya berupa jenazah, duka keluarga yang tidak bisa berbuat apa-apa, dan oknum-oknum terkait malah tertawa ngakak dengan kantong selalu terisi keringat-darah TKI.

Badut Psikopat Menunggangi Perjuangan Para Pahlawan

Siapakah "pahlawan fiktif" Indonesia yang memiliki musuh bebuyutan dengan topeng badut? Mau-tidak mau, pinjam alias "impor" deh. 

Kalau dalam film fiksi "pahlawan fiktif" produk AS menampilkan Manusia Kelelawar (Batman) sebagai tokok protagonis, si Badut (The Joker) merupakan tokoh antagonis paling bebuyutan dan alot ditaklukkan. Selain sebagai musuh bebuyutan, si Badut pun sosok psikopat.

"Roh" si Badut impor ini ternyata sekian pupuh tahun menyusup dan merasuki sebagian orang Indonesia. Dalam realitas di Indonesia, sebagian "badut psikopat" sudah terlihat melalui tulisan di atas, dan masih banyak kasus-kasus lainnya yang tidak cukup ditampung di sini. "Ketuhanan yang Maha Esa" dan "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" diejawantahkan dengan aneka perbuatan yang sangat merugikan banyak orang. Respons berupa kata "prihatin" pun sekadar angin lalu di atas genangan luka dan duka banyak orang.

Media-media kekinian setiap hari memberitakan para "badut psikopat" berkeliaran dan merugikan banyak orang, baik secara materi maupun non-materi. Dengan kebadutan mereka, tidak sedikit orang terkecoh oleh "seolah-olah".

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya," ujar para "badut psikopat" yang justru melumat cita-cinta perjuangan para pahlawan. Intinya, penistaan terhadap para pahlawan Indonesia.

Dan, kalau masih berminat mengikuti perkembangan berita, daftar panjang penistaan terhadap para pahlawan akan selalu meramaikan mata. Ya, para pahlawan Indonesia yang dilakukan oleh sebagian orang Indonesia sendiri.

Ironisnya, selain "bangsa yang besar...", ada kata-kata mutiara Bung Karno yang relevan hingga kondisi sekarang. Apa itu? "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri!"

Nah, dari aneka realitas berbangsa-bernegara yang ironis-miris, masih pantaskah para psikopat sosial berteriak lantang tentang Hari Pahlawan?

Jangan-jangan sebagian kalangan itu justru sedang mengibarkan bendera "Republik Munafik" di seantero Nusantara. Kalau dugaan sudah begini, betapa abadinya duka (pinjam "Dukamu Abadi"-nya Sapardi Djoko Damono) para pahlawan Indonesia. Jangan sampai terjadi dong!

Terima kasih, Para Pahlawan Indonesia. Kiranya kini berbahagia kekal di sisi Sang Maha Pencipta lagi Maha Pencinta. Semoga pula Sang Maha Pencipta lagi Maha Pencinta selalu memunculkan para pahlawan yang sejati bagi Indonesia sampai kapanpun. Amin.

*******

Kupang, 9 November 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun