Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harga Diri Bukanlah Harga Mati

21 Oktober 2018   14:03 Diperbarui: 21 Oktober 2018   14:27 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi seorang maestro, master, jagoan, atau jawara dalam banyak pertarungan internasional tidaklah berarti segala hasil kerja kerasnya telah sempurna, anti-koreksi, anti-kritik, dan harga diri menjadi harga mati. Sehebat-hebatnya manusia, tetaplah tidak terlepas dari kekurangan.  

Mengenai hal tersebut saya belajar secara langsung dari Kartunis Jitet Koestana pada 20/10. Kebetulan saya berteman dengan Jitet di Facebook pada 2017 setelah mengaguminya sejak 1994 melalui karya-karyanya di Majalah Humor. Kebetulan juga saya memiliki buku kumpulan kartunnya, "Gus Ndul" (Elex Media, 1996).

Pada 20/10 itu Jitet memajang karikatur berwajah Novelis Yasar Kemal (1923-2015) asal Turki. Di bawah nama itu Jitet menulis, "Yasar Kemal is very important novelist . His works have been translated into numerous languages and published in many countries around the world."

Yasar Kemal karya Jitet
Yasar Kemal karya Jitet
Tidak perlu menunggu hingga berhari-hari, muncullah sebuah komentar. Pendek sekali. Tidak perlu berbasa-basi, semisal dengan kalimat "maafkan saya sebelumnya jika komentar saya ini sangat kurang berkenan" dan seterusnya.

"Drijine enam," komentar Karikaturis Boedi Hp yang juga relawan di Yayasan Pensil Emas Indonesia dengan sekolah kartun bernama "Gold Pencil".

Ya, pendek, dan fokus. "Jari-jarinya enam". Tidak perlu unggah-ungguh sebagaimana orang Jawa Tengah yang terkenal dengan kata-kata serba aduhai agar tidak langsung menyatakan "kekurangan" orang lain, apalagi terhadap seorang senior-maestro kaliber internasional, di depan umum. 

 Jitet pun memperbaiki karyanya lalu memajang di balasan komentar seraya menjawab, "Woooiyo. kebablasen he he hee. Turnuwun bro."

Awal dan Hasil Perbaikan
Awal dan Hasil Perbaikan
Sederhana sekali, "Oh iya, kelewatan. 'Ma kasih, Bro." Tidak ada basa-basi, pembelaan, diplomasi, pembelaan diri, atau jawaban mengada-ada untuk menutupi "kekurangan" diri.

Dan, secara jelas-gamblang, jari mana yang "diamputasi". Artinya, Jitet tidak "memanipulasi" gambarnya dengan "amputasi tersamar". Sangat jujur dan terbuka.

Kejujuran yang Ditampilkan Jitet
Kejujuran yang Ditampilkan Jitet
Padahal Jitet bukanlah karikaturis kelas cere (cethul, gupi di got-got kota) semacam saya. Rekam jejak kekaryaan Jitet terlalu panjang jika saya harus menuliskannya di sini. Seabrek! Intinya saja, Jitet Koestana sering menjadi juara kartun-karikatur serta juri kejuaraan-kejuaraan kartun internasional.

Padahal lagi, pajangan, komentar, jawaban, dan koreksian karikatur berada di media sosial, dimana ada 4.317 pasang mata akan melihatnya. Sebagian adalah kartunis internasional. Sebagian lainnya adalah kartunis regional (Semarang). Mungkin hanya saya yang bukan siapa-siapa alias serungal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun