Menjadi seorang maestro, master, jagoan, atau jawara dalam banyak pertarungan internasional tidaklah berarti segala hasil kerja kerasnya telah sempurna, anti-koreksi, anti-kritik, dan harga diri menjadi harga mati. Sehebat-hebatnya manusia, tetaplah tidak terlepas dari kekurangan. Â
Mengenai hal tersebut saya belajar secara langsung dari Kartunis Jitet Koestana pada 20/10. Kebetulan saya berteman dengan Jitet di Facebook pada 2017 setelah mengaguminya sejak 1994 melalui karya-karyanya di Majalah Humor. Kebetulan juga saya memiliki buku kumpulan kartunnya, "Gus Ndul" (Elex Media, 1996).
Pada 20/10 itu Jitet memajang karikatur berwajah Novelis Yasar Kemal (1923-2015) asal Turki. Di bawah nama itu Jitet menulis, "Yasar Kemal is very important novelist . His works have been translated into numerous languages and published in many countries around the world."
"Drijine enam," komentar Karikaturis Boedi Hp yang juga relawan di Yayasan Pensil Emas Indonesia dengan sekolah kartun bernama "Gold Pencil".
Ya, pendek, dan fokus. "Jari-jarinya enam". Tidak perlu unggah-ungguh sebagaimana orang Jawa Tengah yang terkenal dengan kata-kata serba aduhai agar tidak langsung menyatakan "kekurangan" orang lain, apalagi terhadap seorang senior-maestro kaliber internasional, di depan umum.Â
 Jitet pun memperbaiki karyanya lalu memajang di balasan komentar seraya menjawab, "Woooiyo. kebablasen he he hee. Turnuwun bro."
Dan, secara jelas-gamblang, jari mana yang "diamputasi". Artinya, Jitet tidak "memanipulasi" gambarnya dengan "amputasi tersamar". Sangat jujur dan terbuka.
Padahal lagi, pajangan, komentar, jawaban, dan koreksian karikatur berada di media sosial, dimana ada 4.317 pasang mata akan melihatnya. Sebagian adalah kartunis internasional. Sebagian lainnya adalah kartunis regional (Semarang). Mungkin hanya saya yang bukan siapa-siapa alias serungal.