Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Politik Berimbalan, Melawan Hakikat Keikhlasan

1 Oktober 2018   17:11 Diperbarui: 3 Oktober 2018   16:38 2929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/JITET)

Kontestasi politik nasional, khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, sudah ramai lagi. Kontestan primer yang akan maju adalah Jokowi dan Prabowo. Ya, seperti kontestasi 2014, meski berbeda kontestan sekundernya.

Yang andil meramaikan tentu saja  kontestan sekunder alias orang-orang yang berada dalam lingkaran tim sukses (timses) yang mengempit "kepentingan". Pada hari kedua masa kampanye (24/9/2018) sudah terang benderang, semisal pernyataan Buni Yani (BY).

"Pak Prabowo harus menang, kalau nggak nanti saya masuk penjara 1,5 tahun," ujar BY yang menangani bagian teknologi informasi (IT) dalam timses salah satu kontestan. 

Mantan dosen yang lulusan Belanda itu memang sedang menghadapi perkara hukum di Pengadilan Negeri Bandung dengan pelanggaran Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UITE) terkait pemotongan sekaligus penyiaran video pada 6 Oktober 2016 yang berisi pidato Basuki Tjahaja Purnama pada 28 September 2016.

"Harus menang. Kalau tidak, nanti masuk penjara". BY sudah berterus terang mengenai "imbalan" atas dukungannya sekaligus sebagai anggota timses. Imbalannya adalah "tidak masuk penjara".

Pertarungan dan pertaruhan politik di Indonesia, terlebih dalam kontestasi pilpres ataupun konstelasi politik, memang biasa dengan istilah "Politik Dagang Sapi" atau "Politik Transaksional". Ungkapan semacam "tidak ada makan siang yang gratis" pun biasa tersaji di media massa. "Politik berimbalan" atau "Politik Pamrih", begitulah kira-kira.

Salah satu contoh "politik berimbalan" dalam konstelasi politik adalah posisi Anggota Dewan komisaris Angkasa Pura I yang diraih oleh Ali Mochtar Ngabalin pada 19 Juli 2018 setelah begitu agresif menyerah lawan politik Presiden Jokowi pasca-pengangkatan sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden pada 23 Mei 2018. 

Pada Pilpres 2014 politikus Golkar itu menjadi bagian dari timses Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, dan Prabowo bakal kembali menjadi lawan Jokowi di Pilpres 2019 nanti.

Sementara salah satu contoh "politik berimbalan" dalam kontestasi politik pada Pilpres 2014 adalah posisi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) pada 2015 kemudian Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya periode 2016-2016 yang diraih oleh Luhut Binsar Panjaitan yang sebelumnya menjadi timses di bagian Pengarah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan diraih oleh Anies Baswedan (diberhentikan pada 26 Juli 2016) yang sebelumnya di bagian Penghubung Partai, dan lain-lain. Mereka resmi menjadi timses pada 23 Mei 2014.

Rela dan Relawan

Dalam politik  arti kamus sebuah kata tidaklah repot dipercaya sebagai sesuatu yang baku-mutlak. Salah satu contohnya adalah "rela". Kata "rela" artinya: (1) bersedia dengan ikhlas hati; (2) izin (persetujuan); (3) dapat diterima dengan senang hati; (4) tidak mengharap imbalan, dengan kehendak atau kemauan sendiri.

Ya, lupakan saja "rela" ketika menjelma "relawan" dalam ranah Politik Transaksional-Berimbalan. Tidak ada "rela mendukung" sejurus dengan "rela tidak mendapat imbalan". Dan, "imbalan" pun merupakan hal yang biasa. Contohnya 3 relawan Jokowi pada Pilpres 2014, yaitu Teten Masduki, Alexander Lay, dan Jaleswari Pramodhawardani yang masuk dalam jajaran Staf Khusus Kabinet. 

Teten Masduki berlatar aktivis antikorupsi, anggota Tim Relawan semasa kampanye, dan masuk Kelompok Kerja (PokJa) tim transisi. Alexander Lay berlatar praktisi hukum yang membantu dalam urusan pembentukan undang-undang negara, dan anggota timses bagian Tim Hukum (Umum). Jaleswari Pramodhawardani berlatar aktivis masalah pertahanan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), aktivis masalah perempuan-anak-Papua, tokoh peduli pada kelompok minoritas, dan masuk PokJa tim transisi Jokowi-JK.

Yang patut dikasihani, bahkan jumlahnya bisa jauh lebih banyak, adalah rakyat yang turut aktif dalam dukung-mendukung salah seorang kontestan. Mereka pun jauh lebih sibuk membela "sang pujaan" sampai berseteru dengan para pembela kompetitor. Ya, sejak Pilpres 2014 mereka getol membela "sang pujaan" masing-masing tanpa imbalan apa-apa tetapi justru ujung-ujungnya meraih kecewa, benci, atau sakit hati.

Politik Utang Budi, Politik Balas Budi, atau Politik Etis

Seperti "rela" dan "relawan", balas budi dalam Politik Berimbalan (Politik Pamrih) pun merupakan hal yang biasa, bahkan jamak, meski istilah kerennya dulu "Politik Etis".  

Istilah "politik etis" atau "politik balas budi" dicetuskan oleh Conraad Theodore van Deventer melalui artikel "Eeu Eereschuld" (Utang Budi) dalam majalah De Gids di Belanda pada 1890 dan diterapkan di Hindia Belanda (nama "Indonesia" belum diproklamasikan) pada 1901. Ternyata "Politik Etis" benar-benar berada dalam habitat yang tepat.

Membalas budi, jasa, atau kebaikan orang lain merupakan hal yang sering dianjurkan, dinasihatkan, dan diajarkan secara turun-temurun oleh sebagian masyarakat Indonesia. Kebiasaan turun-temurun yang bisa saja dikatakan sebagai budaya. Bahkan, sudah merupakan kewajiban bagi sebagian masyarakat lainnya. Hal "kewajiban" ini sama sekali di luar ranah politik, apalagi "politik warisan kolonial".

Momentum sejarah politik Indonesia sejak Reformasi 1998 dan Orde Baru 1966, bahkan mungkin 1945, pun tidak terlepas dari Politik Balas Budi alias Politik Berimbalan. Ketiga momentum itu menampakkan realitas bahwa politik ditunggangi dengan "kepentingan" (imbalan) yang bisa ditelusuri kembali.

Semaraknya istilah "politisasi agama" sekaligus "agamaisasi politik" yang mencuat sejak kontestasi Pilpres 2014 sebenarnya bukanlah hal yang baru, apalagi luar biasa. 

Selanjutnya, atau pasca-2014, atau lagi sampai masa kampanye Pilpres 2019, realitas politik Indonesia sudah menegaskan bahwa hakikat keikhlasan dalam sisi spiritual-kultural tidak lagi mutlak-mengikat.

Hakikat keikhlasan dalam agama pun sebenarnya mengempit "kepentingan". Ceramah-ceramah di mimbar ibadah seputar "surga-neraka", "sehat-sakit", "berkat-kutuk", "bahagia-bahaya", ataupun "upah besar di surga" tidaklah lebih dari bayang-bayang imbalan. Tanpa "imbalan" semacam itu, agama tidak akan pernah menarik untuk disiarkan oleh siapa pun serta media-media hingga entah kapan kelak.

Jadi, ya, tidak perlulah munafik di depan cahaya (ponsel atau komputer) dengan suntuk mengutuk "kepentingan" dalam konstelasi politik dan kontestasi pilpres sampai kapan pun. 

Sebab, toh, segala sesuatu sudah ada imbalannya sebagaimana adagium-adagium (ungkapan; pepatah) umum, misalnya "tiada kawan-lawan sejati dalam politik", "siapa menabur, ia akan menuai", "menabur angin, menuai badai", "ada gula, ada semut", atau "kebaikan akan mendapat kebaikan", "keikhlasan akan mendapat surga", dan seterusnya.

Dan, akui sajalah, sejatinya manusia selalu mendamba imbalan (pamrih), bahkan untuk mati kelak pun sudah mendamba imbalan. Semoga semua akan aduhai pada waktunya.

Kupang, 1 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun