Mohon tunggu...
Agustinus Maran
Agustinus Maran Mohon Tunggu... Guru - Guru Pelosok

Menulislah selagi dunia tak pernah menghakimi tulisanmu.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Surat untuk Penghuni Surga

2 Maret 2023   11:12 Diperbarui: 2 Maret 2023   11:28 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Alu yang baik.

            Kutulis surat ini manakala dadaku mendentum rindu membayangkan dirimu menyanggah tubuh mungilku. Tak ketinggalan semilir angin membelai wajah dan ciap-ciap ayam terdengar merdu meneguhkan perasaanku bahwa hidup ini singkat, sambil mengingatmu- adalah tidak ada yang lebih menyenangkan selain melihat pigura senyummu pada layar ponselku.

            Alu, kukira hidup ini simpel dan biasa-biasa saja. Nyatanya, hidup butuh perjuangan dan perubahan. Memang menjalani hidup tidaklah mudah, yang penting bersyukur atas anugerah Tuhan. Keluhan tidak akan menghentikan kepedihan. Tak ada yang bisa disarankan untuk tubuh ini selain jangan cengeng. Memang hidup butuh perelaan, tetapi jangan membodohi dan menyakiti diri sendiri. Bukankah demikian? Kalaupun ada dibutuhkan, aku lebih butuh pelukanmu- pelukan yang enggan dilepaskan.

            Bertahun-tahun lamanya setelah kepergianmu, aku masih tegar berdiri dengan kaki disanggah kenangan masa silam yang dulu kita rawat dengan doa, dan rajut bersama di rumah berdinding bambu, berlantai tanah itu. Sesekali datanglah. Ceritakan, apa sih enaknya jadi guru pada masamu? Apa mungkin asyik dengan bimbingan belajar? Atau bangga disebut pahlawan tanpa tanda jasa? Ah, pastinya senang dengan tumpukan kertas yang harus diperiksa satu per satu. Barangkali itu bukan jawabanmu. Aku yang dulu tidak mengerti apa-apa tentang guru hanya bisa melihat kesibukanmu, dan sesekali mendengar omelan dari dalam kamar setelah lelah mencoret-coret kertas dengan ujung pena.

            Ada ruang kecil di kepala yang selalu iseng mengingat. Berjam-jam kau duduk di ruang tamu hanya untuk sebuah temu yang berkelanjutan. Temu yang akan dan selalu dianggap ada walaupun tak sengaja dilupakan, tak lain engkau tahu merawat lisan di ruang tamu. Temu membuat begitu betah dan begitu takzim berjuang. Nyatanya rumah telah menjelma jadi sekolah: sepotong surga yang Tuhan titipkan dalam karya dan pengabdian.

            Suatu sore ketika sedang asyik memberikan bimbingan belajar kepada para muridmu, saya hanya bisa menghampiri dan belajar bersama walau tak mengerti apa-apa. Tidak sengaja saya duduk di atas meja menemani kakak. Kakak hanya bisa tersenyum, "Jangan ganggu. Nanti sekolah dulu baru belajar dengan kakak," katamu. Waktu itu saya masih kecil, sekitar empat atau lima tahun, namun saya masih ingat baik akan kisah ini dan yakin kakak juga ingat semuanya. Semua itu terjadi di ruang kecil rumah kita yang pasti tidak akan terlupakan sebab rumah bagi kita adalah tempat yang diurapi.

            Alu, bagaimana kabarmu di alam sana? Apa masih dengan tugas dan rutinitas yang sama? Mendidik anak bangsa dan memupuk mimpi-mimpi mereka agar mekar di kemudian hari. Di sini, para murid yang dulu kau didik telah sukses menjadi diri mereka sendiri. Pasti kakak senang mendengarnya.

            Apa kebiasaanmu masih sama seperti dulu. Kebiasaanku sekarang sudah tak jauh denganmu, memakai kaos kaki saat tidur. Waktu itu aku belum mengerti. Seiring laju waktu, aku lebih paham alasannya. Apalagi ketika harus berpisah dengan sanak keluarga, berpacu dengan waktu, menemukan melodi hidup di daerah cukup dingin. Memakai kaus kaki saat tidur menghangatkan tubuh. Secara sederhana membuat kaki hangat dan membantu tidur lebih cepat. Begitu ya alasannya?

            Dua tahun lalu, pertama kali bertugas di Lewaji, kakak mengunjungiku. Siang itu, ketika sedang istirahat sambil membiarkan pintu kamarku terbuka, ada sayup-sayup suara memanggilku. Walau tak terlihat rupa orangnya tapi saya yakin itu suara kakak. "Jangan ganggu dia sedang istirahat. Lelah baru pulang sekolah," katamu. Benarkan? Malam harinya baru saya ingat. Saya menceritakan ke bapa lewat telepon dan mempersembahkan sebatang lilin di depan pintu untukmu dengan keyakinan bahwa kakak selalu bersamaku, selalu menjaga, dan membimbing tiap pekerjaanku.

            Alu, entah kenapa, aku tiba-tiba saja rindu padamu hingga menuliskan surat ini. Aku tahu ragamu tiada bersamaku, tapi semangatmu masih hidup di sini, dalam semangatku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun