Di tanah Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana senja melukis langit dengan cahaya jingga dan angin membawa harum tanah leluhur, tarian dan nyanyian pernah menjadi denyut kehidupan yang menyatukan jiwa. Dalam lingkaran tangan yang saling menggenggam, tubuh-tubuh menari serempak diiringi sahutan suara yang lahir dari dada, bukan dari alat rekam. Di sana, Dolo-Dolo, Gawi, Dero, dan Tebes bukanlah hiburan, melainkan ritual kebersamaan, jantung yang memompa rasa persaudaraan. Namun kini, dalam dekapan zaman digital, nyanyian berubah menjadi audio, gerak menjadi tontonan, dan lingkaran perlahan meregang. Tradisi yang dulu dihidupi bersama, kini berisiko menjadi arsip yang disimpan tanpa roh, meninggalkan tanya di angin yang melintas: masihkah kita satu suara, satu tubuh, satu jiwa?
Jejak yang Terpatri dalam Lingkaran
Dalam setiap putaran tubuh yang bergerak melingkar, terdapat pesan-pesan tua yang tak pernah ditulis, namun diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya: dalam tarian, dalam nyanyian, dalam kebersamaan yang nyaris suci. Dolo-Dolo dari tanah Lamaholot, Gawi dari jantung Ende-Lio, Dero dari pegunungan Nagekeo, hingga Tebes dari dataran Timor, semuanya lahir dari ruang hidup orang-orang yang menjadikan kebersamaan sebagai denyut utama dalam bertahan, dalam bermimpi, dalam merayakan hidup.
Lingkaran, dalam konteks ini, bukanlah sekadar formasi gerak. Ia adalah simbol yang tak bersuara, tapi menggema dalam batin kolektif masyarakat: bahwa semua berdiri dalam kesetaraan, tidak ada yang di depan, tidak ada yang tertinggal.
"Lingkaran adalah bentuk sosial yang paling purba dan paling utuh," tulis Fritjof Capra dalam The Hidden Connections (2002). Dalam lingkaran, semua terhubung, semua saling bergantung. Di tanah NTT, lingkaran bukan hanya geometri, ia adalah filosofi hidup.
Tradisi tarian-nyanyian ini tak hanya indah dilihat, tetapi juga sarat makna: sebuah mekanisme sosial yang mengajarkan gotong royong tanpa harus berkhotbah, menyemai solidaritas tanpa perlu papan tulis.
Ketika satu kaki melangkah mundur, yang lain menyusul; ketika satu suara memulai, yang lain menyambut. Semua gerak dan suara adalah gema dari satu kesadaran: kita kuat karena bersama.
Lebih dari itu, tak ada penonton dalam tarian ini. Tak ada yang sekadar melihat dari kejauhan. Semua yang hadir adalah peserta: entah tua, muda, lelaki, perempuan, kaya atau sederhana.
Setiap individu diundang untuk menjadi bagian dari getaran kolektif itu. Dalam Cultural Performances and Identities (Turner, 1986), disebutkan bahwa dalam budaya komunitas, performa bukan konsumsi, tapi partisipasi. Inilah yang membuat Dolo-Dolo dan saudara-saudaranya menjadi lebih dari sekadar atraksi budaya, mereka adalah ritus sosial yang merawat jaringan kepercayaan antarmanusia.
Kini, ketika zaman menawarkan penonton yang lebih banyak di balik layar dan kamera, kita perlu bertanya kembali: apa gunanya lingkaran jika tak lagi mengikat jiwa? Apa artinya nyanyian jika tak lagi bersahut? Dan bagaimana mungkin tradisi tetap hidup jika tak ada lagi yang terlibat, selain memencet tombol 'play'?