Di balik sunyi perpustakaan dan layar-layar laptop yang menyala hingga larut malam, tersembunyi kecemasan yang tak kasat mata: ketakutan yang membeku di ujung jemari mahasiswa saat diminta menulis. Mereka yang telah menempuh perjalanan panjang di dunia pendidikan justru terjebak dalam kebisuan, bukan karena tak punya gagasan, melainkan karena kata-kata enggan turun dari kepala ke kertas. Tugas akhir pun berubah dari selebrasi ilmu menjadi beban yang menggerus kepercayaan diri. Fenomena ini bukan sesuatu yang tiba-tiba; ketakutan itu seperti benih yang ditanam sejak pendidikan dasar, dipupuk oleh sistem yang terlalu mencintai hafalan dan kerap mengekang ekspresi kebebasan. Maka wajar bila kini muncul pertanyaan yang menggugah nurani: apakah pendidikan kita sungguh telah membekali anak-anak dengan keberanian menulis dan kejujuran berpikir, atau justru melahirkan generasi yang fasih berbicara namun gagap saat merangkai pikiran dalam tulisan?
Akar Masalah: Minimnya Pembiasaan Menulis di Pendidikan Dasar
Di bangku-bangku kecil sekolah dasar---tempat seharusnya benih keberanian dan kreativitas ditanam---justru yang tumbuh adalah ketertundukan pada aturan tata bahasa. Pelajaran bahasa menyusut menjadi kumpulan definisi dan hafalan rumus EYD, menjauh dari dunia anak-anak yang penuh imajinasi. Tulisan bebas, esai pribadi, atau jurnal harian yang bisa menjadi wadah ekspresi dan latihan berpikir, sering kali dipinggirkan dalam kurikulum yang sarat target kognitif.
Penilaian pun menjadi momok. Satu kesalahan tanda baca bisa menghapus seluruh semangat menulis. Sayangnya, para guru bukan sepenuhnya pihak yang bersalah: mereka juga korban dari sistem yang menuntut kesempurnaan teknis dan kepatuhan. Kurikulum yang padat dan kaku memaksa guru lebih fokus pada bentuk daripada isi, pada kesalahan daripada keberanian.
Sebagaimana dicatat oleh Maimunah, dalam Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (2015), pembelajaran menulis sering menekankan bentuk, bukan isi. Hal senada disampaikan Atmazaki, dalam Pengembangan Kompetensi Menulis (2006), yang menunjukkan bahwa keterbatasan waktu dan padatnya materi mendorong guru memilih metode instan ketimbang pendekatan reflektif yang membangun kecintaan menulis.
Akibatnya, dalam keheningan ruang-ruang kelas, anak-anak perlahan belajar untuk diam. Bukan karena mereka tak punya suara, tapi karena sejak awal mereka tak pernah diajak percaya bahwa tulisan mereka layak untuk dibaca---dan didengar.
Konsekuensi di Bangku Kuliah
Ketika mahasiswa menghadapi tugas akademik yang menuntut ketajaman berpikir dan kejernihan menulis, mereka sering tampak kebingungan---seperti burung yang diminta terbang tinggi padahal tak pernah dilatih mengepakkan sayap sejak kecil. Mereka bukan tidak mampu, tapi tidak terbiasa mengekspresikan isi pikirannya secara jujur dan terstruktur melalui tulisan.
Menulis akademik pun berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Bukan wadah untuk mengasah nalar, melainkan medan penuh tekanan, di mana satu kesalahan kecil bisa merusak nilai. Tugas akhir, alih-alih menjadi puncak proses belajar, justru menjadi sumber kecemasan dan bahkan trauma bagi banyak mahasiswa.
Hal ini diperparah oleh padatnya program kuliah yang hampir tak menyisakan ruang untuk pelatihan menulis yang berkelanjutan. Menulis dilakukan dalam kesendirian, tanpa bimbingan yang memadai, seolah menjadi tugas tambahan yang tak penting di tengah deretan kewajiban akademik lainnya.