Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Mahasiswa Gagap Menulis, di Mana Akar Masalahnya?

20 Mei 2025   04:30 Diperbarui: 23 Mei 2025   17:56 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengetik(Unsplash/Glenn Carstens Peters)

Di balik sunyi perpustakaan dan layar-layar laptop yang menyala hingga larut malam, tersembunyi kecemasan yang tak kasat mata: ketakutan yang membeku di ujung jemari mahasiswa saat diminta menulis. Mereka yang telah menempuh perjalanan panjang di dunia pendidikan justru terjebak dalam kebisuan, bukan karena tak punya gagasan, melainkan karena kata-kata enggan turun dari kepala ke kertas. Tugas akhir pun berubah dari selebrasi ilmu menjadi beban yang menggerus kepercayaan diri. Fenomena ini bukan sesuatu yang tiba-tiba; ketakutan itu seperti benih yang ditanam sejak pendidikan dasar, dipupuk oleh sistem yang terlalu mencintai hafalan dan kerap mengekang ekspresi kebebasan. Maka wajar bila kini muncul pertanyaan yang menggugah nurani: apakah pendidikan kita sungguh telah membekali anak-anak dengan keberanian menulis dan kejujuran berpikir, atau justru melahirkan generasi yang fasih berbicara namun gagap saat merangkai pikiran dalam tulisan?

Akar Masalah: Minimnya Pembiasaan Menulis di Pendidikan Dasar

Di bangku-bangku kecil sekolah dasar---tempat seharusnya benih keberanian dan kreativitas ditanam---justru yang tumbuh adalah ketertundukan pada aturan tata bahasa. Pelajaran bahasa menyusut menjadi kumpulan definisi dan hafalan rumus EYD, menjauh dari dunia anak-anak yang penuh imajinasi. Tulisan bebas, esai pribadi, atau jurnal harian yang bisa menjadi wadah ekspresi dan latihan berpikir, sering kali dipinggirkan dalam kurikulum yang sarat target kognitif.

Penilaian pun menjadi momok. Satu kesalahan tanda baca bisa menghapus seluruh semangat menulis. Sayangnya, para guru bukan sepenuhnya pihak yang bersalah: mereka juga korban dari sistem yang menuntut kesempurnaan teknis dan kepatuhan. Kurikulum yang padat dan kaku memaksa guru lebih fokus pada bentuk daripada isi, pada kesalahan daripada keberanian.

Sebagaimana dicatat oleh Maimunah, dalam Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (2015), pembelajaran menulis sering menekankan bentuk, bukan isi. Hal senada disampaikan Atmazaki, dalam Pengembangan Kompetensi Menulis (2006), yang menunjukkan bahwa keterbatasan waktu dan padatnya materi mendorong guru memilih metode instan ketimbang pendekatan reflektif yang membangun kecintaan menulis.

Akibatnya, dalam keheningan ruang-ruang kelas, anak-anak perlahan belajar untuk diam. Bukan karena mereka tak punya suara, tapi karena sejak awal mereka tak pernah diajak percaya bahwa tulisan mereka layak untuk dibaca---dan didengar.

Konsekuensi di Bangku Kuliah

Ketika mahasiswa menghadapi tugas akademik yang menuntut ketajaman berpikir dan kejernihan menulis, mereka sering tampak kebingungan---seperti burung yang diminta terbang tinggi padahal tak pernah dilatih mengepakkan sayap sejak kecil. Mereka bukan tidak mampu, tapi tidak terbiasa mengekspresikan isi pikirannya secara jujur dan terstruktur melalui tulisan.

Menulis akademik pun berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Bukan wadah untuk mengasah nalar, melainkan medan penuh tekanan, di mana satu kesalahan kecil bisa merusak nilai. Tugas akhir, alih-alih menjadi puncak proses belajar, justru menjadi sumber kecemasan dan bahkan trauma bagi banyak mahasiswa.

Hal ini diperparah oleh padatnya program kuliah yang hampir tak menyisakan ruang untuk pelatihan menulis yang berkelanjutan. Menulis dilakukan dalam kesendirian, tanpa bimbingan yang memadai, seolah menjadi tugas tambahan yang tak penting di tengah deretan kewajiban akademik lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun