Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sunyi dalam Notifikasi: Alienasi Manusia di Tengah Keramaian Digital

13 Mei 2025   03:40 Diperbarui: 13 Mei 2025   04:02 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dunia kini berdetak dalam cahaya layar dan getar notifikasi: seolah sunyi adalah kegagalan, dan diam adalah dosa yang harus ditebus dengan kehadiran digital. Setiap pagi, kita membuka mata bukan pada jendela kamar, melainkan pada pesan-pesan dan notifikasi yang memanggil nama kita tanpa suara manusia; kita hadir di mana-mana, namun dalam ruang yang tak bertubuh dan obrolan yang tak menyentuh. Di tengah pesta digital yang tak mengenal usai, kita ditandai sebagai "hadir"---di-tag, di-mention, direspons dengan emoji dan balasan cepat---namun terkadang merasa seperti bayangan dari diri sendiri: tampak ada, tapi hampa. Sunyi tumbuh bukan karena tak ada suara, melainkan karena hati tak lagi diajak bicara. Maka mengendaplah sebuah tanya yang lirih namun tajam: benarkah kita semakin dekat satu sama lain, atau justru semakin jauh dari diri sendiri---terasing di tengah sorakan, hilang dalam percakapan yang kehilangan kedalaman?

Alienasi: Dari Karl Marx ke Era Digital

Di abad ke-19, Karl Marx mengurai luka manusia modern: Keterasingan (Entfremdung). Dalam sistem produksi kapitalis, manusia tercerabut dari esensi dirinya: ia terasing dari hasil kerjanya, dari proses mencipta, dari sesama buruh, bahkan dari dirinya sendiri. Marx, dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, menulis bahwa manusia menjadi "makhluk asing bagi dunia yang ia sendiri ciptakan."

Kini, meski pabrik berganti jadi platform, dan mesin diganti oleh algoritma, keterasingan itu tak lenyap---ia hanya bermetamorfosis. Di dunia digital, kita tak lagi mengasingkan diri dari hasil kerja fisik, melainkan dari makna. Kita berbicara lebih banyak, namun semakin jarang mendengarkan. Kita memiliki ratusan koneksi, tapi kerap merasa tak ada yang benar-benar hadir. Identitas pun dikurasi, dibentuk untuk tampil, bukan untuk tumbuh. Seperti menulis catatan harian di dinding kota: bukan untuk dikenang, melainkan untuk dilihat dan cepat dilupakan.

Sherry Turkle, dalam Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (2011), menyebut fenomena ini sebagai "connected, but alone"---terhubung secara teknologi, namun terputus secara emosional dan eksistensial. Sementara itu, Byung-Chul Han, dalam The Burnout Society (2015), menyatakan bahwa manusia kini tidak lagi ditekan oleh sistem dari luar, melainkan oleh tuntutan untuk terus menampilkan diri secara produktif, menarik, dan terhubung.

Di balik semua kemudahan dan kedekatan semu ini, kita menyadari satu hal: bahwa alienasi tidak selalu datang dari kekurangan koneksi, tetapi justru dari koneksi yang kehilangan kedalaman.

Dunia Digital sebagai Panggung dan Penjara

Di era daring, eksistensi bukan lagi sekadar keberadaan, melainkan penampilan. Kita tak hanya hadir, kita dipanggil untuk tampil. Dari yang semula ingin aktualisasi, kini berubah menjadi eksibisi: memperlihatkan, membagikan, membuktikan diri secara konstan. Kehadiran kita seolah tergantung pada sorotan: jika tidak diunggah, apakah aku benar-benar ada?

Jean Baudrillard, dalam The Consumer Society: Myths and Structures (1998), menyebut bahwa masyarakat modern telah berubah dari produksi menjadi tontonan, dari makna menjadi simbol. Media sosial, dalam terang ini, menjadi panggung abadi. Namun panggung ini tak netral. Di balik layar, algoritma bekerja sunyi namun kuat: mengatur apa yang layak dilihat, siapa yang patut disukai, dan kapan kita harus kembali tampil. Ia adalah struktur tak terlihat yang menentukan ritme hidup kita tanpa kita sadari---semacam panoptikon digital.

Byung-Chul Han, dalam Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power  (2017), menyebut dunia digital sebagai bentuk baru kekuasaan: kekuasaan yang tak lagi memaksa dari luar, tapi menggoda dari dalam. Kita tak diperintah untuk hadir, namun kita merasa bersalah jika menghilang. Ia menulis, "Panoptikon digital tidak menekan, tetapi justru menggoda."

Tatapan orang lain tak pernah padam. Ia hadir dalam bentuk likes, komentar, pesan, views. Setiap sinyal adalah semacam panggilan untuk terus menjadi---namun bukan "menjadi" dalam kebebasan, melainkan dalam tekanan untuk selalu produktif, menarik, sempurna. Kita mengejar kehadiran, namun perlahan kehilangan kedalaman. Dan di tengah sorotan itu, kita mulai merindukan sunyi: sunyi yang dulu kita anggap biasa, kini terasa langka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun