Pagi itu, di awal Mei 2025, saya duduk bersama belasan wajah penuh harap dalam ruang sederhana pendidikan wajib anggota Credit Union (CU) Sinar Papua Selatan di Merauke. Tanpa layar besar atau lampu gemerlap, tetapi dengan kalimat-kalimat yang menembus batin. Sejak awal, terasa bahwa pendidikan ini bukan sekadar tentang cara menyimpan uang, melainkan juga tentang bagaimana menyimpan kebijaksanaan dalam hidup. Selama ini, banyak dari kita terjebak dalam anggapan bahwa semakin banyak uang berarti semakin tinggi martabat dan kebahagiaan, sehingga gaya hidup pun dibentuk untuk terlihat "berhasil", meski mengorbankan ketenangan jiwa. Namun dalam pembinaan ini, pandangan itu pelan-pelan digeser: kami diajak merenung tentang kebiasaan sehari-hari yang membentuk masa depan dan bagaimana setiap keputusan keuangan mencerminkan kendali diri. Di situlah saya mulai memahami, bahwa hidup sederhana dan penuh kesadaran jauh lebih bernilai daripada sekadar memiliki banyak uang---karena kekayaan sejati bukan soal kepemilikan, melainkan kemampuan menahan diri di tengah segala godaan.
Credit Union dan Filosofinya
Di tengah pusaran sistem keuangan yang sering berpihak pada yang kuat, CU hadir seperti mata air di tengah padang yang kering. Ia tumbuh dari semangat solidaritas, bukan dari kerakusan; dari kehendak untuk saling menopang, bukan untuk saling mengungguli. CU adalah koperasi jasa keuangan yang dimiliki dan dikelola oleh anggotanya sendiri. Di dalamnya, setiap orang memiliki suara yang setara, tak peduli besar kecil simpanannya. Ia bukan lembaga finansial murni, melainkan komunitas yang menanamkan nilai---nilai hidup, bukan sekadar angka.
Peran CU dalam masyarakat begitu luas, tak hanya sebagai tempat menabung dan meminjam. Ia menjadi ruang pembelajaran bersama tentang bagaimana seharusnya manusia hidup: berhemat, berbagi, dan bertanggung jawab. Di tempat ini, uang bukan hanya ditransaksikan, melainkan dimaknai. Sebagaimana ditulis oleh Mubyarto dalam Koperasi dan Ekonomi Rakyat (1987), koperasi---termasuk CU---adalah "alat perjuangan ekonomi rakyat kecil yang memperjuangkan keadilan dan pemerataan." CU hadir sebagai jembatan bagi mereka yang sering tersisih dari layanan keuangan formal, memberi akses, tetapi lebih dari itu: memberi harapan.
Filosofi CU berpijak pada tiga pilar utama: 'kebersamaan,' 'pendidikan keuangan,' dan 'kemandirian ekonomi.' Kebersamaan mengajarkan bahwa keberhasilan satu orang bukan berarti kekalahan yang lain, melainkan kemenangan bersama. Pendidikan keuangan yang dibina lewat pertemuan rutin, pelatihan, dan pembinaan anggota menjadi inti dari transformasi karakter: dari konsumtif menjadi produktif, dari impulsif menjadi bijak. Dan kemandirian ekonomi yang dicita-citakan bukan tentang menjadi kaya raya, tetapi cukup dan tidak tergantung pada lembaga yang memperdaya.
Sebagaimana disampaikan oleh Aloysius Suyatno dalam Credit Union: Gerakan Pemberdayaan dan Pendidikan Keuangan (2016), CU adalah "sekolah kehidupan" di mana setiap anggota belajar bukan hanya mengelola uang, melainkan mengelola diri. Di sinilah tampak bahwa CU bukan hanya tempat menyimpan dan meminjam, melainkan tempat membentuk karakter. Anggota diajak berpikir jauh ke depan, tidak untuk hari ini saja, tetapi untuk masa depan yang lebih tertata.
Mengontrol Diri, Mengubah Hidup
Dari pendidikan wajib anggota CU Sinar Papua Selatan, saya pulang dengan sesuatu yang lebih berharga dari teori, yakni kesadaran baru. Kesadaran bahwa sering yang membuat hidup terasa berat bukanlah kekurangan uang, melainkan kelemahan kita dalam membedakan antara 'keinginan' dan 'kebutuhan.' Bahwa menunda membeli sesuatu yang diinginkan hari ini, bisa berarti mengamankan masa depan esok hari. Pendidikan ini mengajak kami merenung, bahwa kontrol diri bukanlah pengekangan, melainkan pembebasan: bebas dari rasa bersalah, bebas dari penyesalan.
Salah satu hal paling membekas dari sesi itu adalah latihan membedakan dua hal yang kerap kita campuradukkan: 'butuh' dan 'ingin.' Kita memang membutuhkan sepatu, tetapi apakah sepatu bermerek mahal adalah kebutuhan atau sekadar keinginan? Kita membutuhkan makan, tetapi apakah makan di restoran setiap minggu adalah kebutuhan? Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu mulai menggugah cara hidup sehari-hari. Seorang anggota bahkan bersaksi bahwa sejak ia mulai mencatat pengeluaran dan menahan keinginan, ia tidak lagi meminjam uang untuk hal-hal yang tak penting. Ia bisa menabung, dan bahkan membantu keponakannya sekolah.
Pengendalian diri dalam mengelola keuangan bukan semata tindakan ekonomis; ia adalah tindakan spiritual yang menyelamatkan. Seperti yang diungkapkan oleh Stephen R. Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective People (1989), salah satu kebiasaan manusia efektif adalah "being proactive"---mengambil kendali atas diri sendiri, termasuk dalam urusan uang. Saat kita tidak dikuasai oleh keinginan sesaat, hidup menjadi lebih tenang. Tidak lagi panik saat akhir bulan, tidak lagi gelisah melihat orang lain punya lebih. Bahkan, kita mulai punya ruang untuk berbagi: membantu tetangga yang sakit, menyekolahkan adik, atau memberi sumbangan untuk komunitas.
Dalam dunia yang sering mendorong kita untuk membeli lebih, memiliki lebih, dan membandingkan diri terus-menerus, pendidikan CU menawarkan jalan yang berbeda---jalan yang hening tapi kokoh. Menyadarkan kita bahwa ketenangan bukan berasal dari tumpukan benda, melainkan dari hati yang tahu batas, tahu cukup, dan tahu arah.