Di tengah riuh ruang publik yang kerap berdenyut oleh kabar dan sangkaan, polemik ijazah palsu menyeruak sebagai badai kecil yang menyibak wajah kredibilitas. Sementara kebutuhan akan transparansi dan kejujuran terus menggema, gelombang disinformasi, setengah-kebenaran, dan penilaian emosional datang bertubi-tubi, merusak kejernihan air tempat kita mencoba bercermin. Celakanya, alih-alih menyelami inti persoalan, sebagian pihak justru terperosok dalam jurang argumentum ad hominem: menyerang pribadi alih-alih membedah perkara---sehingga alur diskusi yang seharusnya mengarah pada klarifikasi dan pembuktian terbelokkan oleh sentimen dan prasangka yang memudarkan daya nalar. Dalam pusaran seperti ini, sikap skeptis menjadi jangkar kesadaran: bukan skeptisisme yang sinis dan membatu, melainkan yang jernih dan mencintai kebenaran, yang bertanya sebelum percaya, memeriksa sebelum menyimpulkan, dan tetap waspada agar tak mudah terhanyut oleh arus yang hanya deras di permukaan. Esai ini meyakini bahwa sikap skeptis adalah kunci untuk memilah antara substansi dan serangan personal dalam kasus ijazah palsu---menuntun kita agar tidak terjebak pada figur, melainkan tertuju pada fakta: keaslian dokumen, legitimasi prosedur, dan keabsahan hukum---demi tetap setia pada pencarian kebenaran yang bening, bukan sekadar memuaskan rasa ingin tahu, tetapi juga menjaga nurani publik dari kabut manipulasi.
Mengidentifikasi Argumen Substantif vs. Ad Hominem
Dalam upaya memahami polemik ijazah palsu secara jernih, langkah awal yang perlu diambil adalah membedakan antara argumen yang bersandar pada substansi dan yang terjerembab dalam ad hominem. Keduanya bisa tampil dalam balutan yang serupa---mengundang perhatian, menyulut emosi, dan tampak 'meyakinkan'---namun hakikatnya bertolak belakang seperti cahaya dan bayang-bayang. Argumen substantif berakar pada data, prosedur, dan prinsip; ia tidak bergantung pada siapa yang berbicara, melainkan pada apa yang dibuktikan. Sebagai contoh, jika seseorang menyatakan, "Ijazah ini patut dipertanyakan karena nomor registrasinya tidak tercantum dalam basis data resmi Dikti, dan institusi yang mengeluarkannya tidak ditemukan dalam akreditasi tahun terbit," maka ini adalah argumen substantif. Ia berangkat dari bukti objektif, mengundang verifikasi, dan menuntut penyelidikan formal. Dalam filsafat argumen, pendekatan ini selaras dengan etika epistemik yang diajukan oleh Alvin Goldman, dalam Knowledge in a Social World (1999), yakni bahwa klaim harus diverifikasi dalam komunitas epistemik yang bertanggung jawab dan transparan.
Sebaliknya, argumentum ad hominem berbelok dari pokok perkara dan menancapkan serangan pada pribadi. Pernyataan seperti "Ia pasti memalsukan ijazah karena sejak dulu dikenal ambisius dan suka jalan pintas," atau "Karena ia berasal dari partai tertentu, tentu saja dokumennya bermasalah," bukanlah kritik terhadap bukti, melainkan prasangka terhadap karakter dan afiliasi. Dalam kerangka berpikir rasional, Jonathan Adler, melalui artikel Belief's Own Ethics (2002), mengingatkan bahwa ad hominem mengingkari prinsip dasar etika kepercayaan: bahwa kita semestinya meyakini sesuatu karena bukti, bukan karena rasa suka atau tidak suka pada pembawa pesan.
Ad hominem kerap muncul dan memikat karena ia mudah dicerna dan menyulut emosi. Ia memberi pelampiasan saat substansi terlalu rumit untuk ditelusuri, serta menawarkan 'musuh' yang jelas agar publik merasa telah memahami persoalan, padahal justru menyingkirkan esensinya. Dalam ranah politik dan media, serangan personal bahkan sering digunakan sebagai taktik strategis untuk menyederhanakan narasi, membentuk opini, dan menjauhkan akal dari tanggung jawab berpikir. Seperti dicatat Chaim Perelman, dalam The New Rhetoric (1969), retorika yang mengabaikan nilai rasionalitas rawan menjebak publik dalam ilusi persuasif, bukan pencarian kebenaran.
Maka, ketika kita menyimak perdebatan tentang ijazah palsu, kita diajak untuk tidak serta-merta memihak pada suara yang paling keras atau pada wajah yang paling disukai. Kita diajak menunduk sejenak, mendengar suara sunyi dari bukti, prosedur, dan konsistensi. Sebab kebenaran tidak tumbuh dari tudingan, tetapi dari penapisan yang sabar dan skeptis---dari keberanian untuk tidak tergesa menyimpulkan, dan ketulusan mengedepankan fakta daripada prasangka.
Peran Kunci Skeptisisme dalam Analisis Substantif
Dalam gelap-terang wacana publik, skeptisisme hadir bukan sebagai lawan dari kebenaran, melainkan penjaganya. Ia adalah lentera kecil yang menyala di tengah kabut klaim dan opini, mengarahkan pandang kita agar tidak tertipu pada kilau semu, tetapi tertuju pada fondasi yang kokoh: bukti dan logika. Skeptisisme sejati tidak serta-merta menolak, tetapi memilih untuk tidak lekas percaya. Ia mengajukan pertanyaan demi pemahaman. Dalam konteks polemik ijazah palsu, sikap ini menjadi alat penting untuk memilah apakah tuduhan bersandar pada prosedur dan data yang dapat diverifikasi, atau sekadar gema dari kecurigaan yang belum berakar. Susan Haack, dalam Manifesto of a Passionate Moderate (1998), menyebut skeptisisme semacam ini sebagai bentuk tanggung jawab epistemik: percaya hanya jika alasan yang mendukungnya cukup kuat.
Dengan lensa skeptis, pertanyaan tak hanya tertuju pada isi klaim, tetapi juga asal-usul dan motif di baliknya. "Dari mana datangnya? Apakah sumbernya sah dan terbuka untuk diuji?" Kebenaran yang sehat tak lahir dari gema, tetapi dari ketekunan menelusuri: dokumen, prosedur, dan konteks historis. Bila seseorang menyatakan, "Ijazah tersebut tidak teregistrasi," maka skeptisisme mengajak kita memverifikasi: dicek di mana? Di bawah otoritas apa? Apakah ada kemungkinan kekeliruan administratif?
Sikap ini tidak hanya menjauhkan kita dari bias dan manipulasi, tetapi juga memperhalus cara kita memandang sesama. Alih-alih menghakimi, kita belajar menyimak dan menelusuri. Sebagaimana ditekankan Karl Popper, dalam The Logic of Scientific Discovery (1959), pengetahuan yang sah adalah yang terbuka untuk diuji dan dibantah. Hanya melalui keterbukaan terhadap pengujianlah kebenaran dapat mengkristal dari keraguan: bukan dari keyakinan yang tergesa, melainkan dari kehati-hatian yang jernih.
Skeptisisme, dalam wujudnya yang matang, adalah penjaga batas antara opini dan pengetahuan, antara tuduhan dan kebenaran. Ia tidak mendorong kita untuk sinis, melainkan mengajak menyelami dasar persoalan, tidak puas dengan permukaan. Dalam dunia yang gemar menyederhanakan, skeptisisme adalah undangan untuk berpikir jernih, dan keberanian untuk menunda penilaian demi keadilan dalam memahami.