Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Produktivitas dan Kesejahteraan: Buruh Butuh Lebih dari Sekadar Upah

1 Mei 2025   04:15 Diperbarui: 6 Mei 2025   07:53 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.COM/AAM AMINULLAH

Setiap 1 Mei, langit dunia kerja seolah diselimuti bayang-bayang luka yang belum pulih. Bukan karena mendung, melainkan karena seruan keadilan yang terus menggema dari tubuh-tubuh lelah yang tetap dipaksa berlari demi roda industri yang tak pernah jeda. Di tengah gegap gempita teknologi dan tekanan produktivitas, buruh kerap diperlakukan layaknya mesin: bekerja tanpa salah, menghasilkan tanpa lelah, dan taat tanpa suara. Padahal, di balik angka keuntungan dan target yang dikejar tanpa henti, tersembunyi kisah-kisah manusia yang kehilangan hak istirahat, rasa aman, dan jaminan hidup yang layak. Esai ini hadir bukan hanya sebagai pengingat, tetapi sebagai seruan lembut: bahwa buruh bukanlah alat yang bisa diganti sesuka hati, melainkan manusia seutuhnya---yang bermimpi, mencinta, dan berharap. Mereka butuh bukan hanya upah, melainkan pengakuan, perlindungan, dan kesejahteraan yang tak ditunda.

Buruh dan Produktivitas: Siapa yang Diuntungkan?

Di ruang-ruang kerja yang pengap, di bawah lampu-lampu yang tak pernah mati, para buruh terus bergerak mengejar target yang terus dinaikkan. Produktivitas menjadi mantra baru: diagungkan, ditargetkan, ditingkatkan. Perusahaan berlomba menuntut hasil lebih banyak dalam waktu lebih singkat. Efisiensi dijadikan tolok ukur utama, seolah manusia bisa dipacu seperti mesin, tanpa batas waktu dan tenaga.

Namun di balik lonjakan angka produksi, sering kesejahteraan buruh tak ikut naik. Gaji tak sebanding dengan lelah yang dicurahkan, sementara laba terus menanjak. Ketika perusahaan tumbuh, rumah-rumah buruh tetap rapuh; gedung-gedung menjulang, namun akses mereka terhadap kesehatan dan pendidikan dasar tetap terbatas. Lembur menjadi kewajiban tak tertulis, jam kerja merangkak panjang, tapi hak untuk lelah pun terasa mewah. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan membungkam suara, menekan keluh, dan menjadikan tekanan sebagai keseharian yang diterima dalam diam.

Produktivitas yang dibangun di atas pengorbanan manusia tanpa penghargaan adalah kekeliruan yang menyakitkan. Ia tak semestinya menjadi alasan untuk menginjak martabat kerja, melainkan harus tumbuh beriringan dengan keadilan, empati, dan penghargaan terhadap mereka yang membuat roda industri tetap berputar.

Kesehatan Kerja: Hak yang Sering Dikesampingkan

Tempat kerja semestinya menjadi ruang aman---tempat manusia menjaga nafkah, martabat, dan keberlangsungan hidup. Namun bagi banyak buruh, ruang itu justru menjelma jadi medan rawan. Di pabrik-pabrik berisik, bangunan penuh debu, hingga ladang yang dibakar matahari, keselamatan sering dikalahkan oleh target dan efisiensi. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kerap jadi formalitas: helm longgar, sepatu tak layak, prosedur darurat yang sekadar hiasan dinding---semuanya menandakan bahwa tubuh buruh belum jadi prioritas.

Di balik denyut produksi, risiko mengintai: tubuh letih, tulang rapuh, dan pikiran yang lelah. Luka buruh tak selalu berdarah---ia bisa berbentuk stres, kecemasan kontrak, atau ketakutan kehilangan pekerjaan. Luka-luka ini tak kasatmata, namun perlahan menggerogoti jiwa. Sayangnya, ruang untuk mengadu nyaris tak tersedia, dan waktu istirahat terus dikikis oleh jam lembur dan target yang memburu.

Bagi buruh kontrak dan informal, kerentanan makin dalam karena akses layanan kesehatan yang terbatas. BPJS sering terasa terlalu jauh: dihambat prosedur rumit, status kerja yang tak jelas, dan informasi yang timpang. Mereka tersisih dari sistem, seolah hak atas kesehatan hanya milik mereka yang berstatus tetap dan terdokumentasi rapi.

Padahal, tubuh buruh adalah aset utama roda ekonomi. Tanpa tubuh yang sehat dan jiwa yang kuat, produktivitas hanyalah ilusi yang dibangun di atas penderitaan. Sudah waktunya kesehatan kerja dipandang bukan sebagai beban tambahan, melainkan fondasi kesejahteraan bersama yang tak bisa dinegosiasikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun