Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dari Cogito ke Kode: Krisis Subjektivitas dalam Dunia Data

22 April 2025   02:17 Diperbarui: 22 April 2025   03:24 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di tengah lalu lintas data yang tak pernah hening, manusia hari ini hadir tanpa suara---terlihat, tercatat, dan terarsip dalam jutaan fragmen digital: klik yang dihitung, gerak yang dipetakan, emosi yang ditaksir lewat emoji dan preferensi belanja. Kita hidup dalam dunia yang mengenali kita lebih cepat dari kita menyapa diri sendiri, namun justru kian jarang benar-benar dipahami. Dulu, melalui cogito ergo sum, manusia menegaskan eksistensinya dari kesadaran yang mendalam; subjektivitas menjadi titik mula segala pengetahuan. Kini, cogito itu terdengar sayup, digeser oleh logika baru: aku terdata, maka aku diperhitungkan. Dalam dunia yang memuja pola dan kepastian angka, kita pun patut bertanya: apakah subjektivitas, dengan seluruh kabut rasanya, masih diakui? Ataukah kita tengah menyaksikan senja dari sebuah kesadaran yang tak lagi bisa dikodekan?

Dari Cogito ke Kode -- Perubahan Paradigma

Pada awal modernitas, Ren Descartes menancapkan fondasi eksistensial dengan cogito ergo sum---aku berpikir, maka aku ada. Kesadaran menjadi bukti keberadaan, dan subjek yang berpikir menjadi pusat segala tafsir tentang dunia. Melalui keraguan, sebagaimana diuraikan dalam Meditations on First Philosophy (1996), Descartes justru menemukan kepastian akan eksistensi diri: "aku" yang tak dapat disangkal karena mampu meragukan.

Namun dalam lanskap digital hari ini, posisi subjek telah digeser secara halus namun mendasar. Manusia tak lagi menjadi sumber pengetahuan, melainkan objek dari sistem yang membaca dan membentuknya. Refleksi personal digantikan oleh statistik, dan pemahaman digantikan oleh perhitungan. Kita bukan lagi yang mengerti, melainkan yang dimengerti---oleh algoritma yang tak mengenal jeda maupun keraguan.

Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019) menyebut ini sebagai pergeseran besar: dari subjek otonom menjadi "penghasil ekses perilaku." Kehidupan sehari-hari dipanen sebagai data mentah untuk membangun prediksi, bukan pemahaman. Dalam ekonomi digital, identitas manusia direduksi menjadi kumpulan pola yang siap dimonetisasi.

Lebih jauh, kecerdasan buatan mulai mengambil alih peran penilaian: memutuskan apa yang layak kita lihat, siapa yang kita temui, bahkan apa yang layak kita dapatkan. Cathy O'Neil dalam Weapons of Math Destruction (2016) menunjukkan bahwa algoritma bukan sekadar cermin, melainkan mesin pembentuk dunia: penuh bias yang tersembunyi. Maka di antara cogito dan kode, manusia kini berdiri dalam senyap: dinilai, dikalkulasi, namun kehilangan hak untuk menafsirkan dirinya sendiri.

Manusia Sebagai Data -- Sebuah Reduksi

Dalam dunia yang terjalin oleh sinyal dan sensor, kehidupan manusia kini terlipat dalam angka. Langkah kaki dihitung, detak jantung dicatat, kata kunci dikurasi, dan jempol yang terangkat dijadikan representasi emosi. Perangkat seperti Fitbit, media sosial, dan riwayat pencarian menjadikan hidup bukan sekadar dijalani, melainkan dikumpulkan dan dikalkulasi.

Inilah wajah big data: data tak lagi sekadar alat bantu, melainkan menjadi dasar realitas itu sendiri. Seperti ditulis oleh Mayer-Schnberger dan Cukier dalam Big Data (2013), data kini menyaring kompleksitas menjadi pola, dan pola menjadi kebenaran yang dipercaya mesin. Pengetahuan tidak lahir dari pengalaman, melainkan dari pengenalan pola yang diolah tanpa konteks.

Dalam tatanan ini, manusia tidak lagi dilihat sebagai subjek yang utuh, melainkan sebagai profil perilaku yang bisa diprediksi. Seperti diuraikan oleh Shoshana Zuboff (2019), manusia telah direduksi menjadi "sumber surplus perilaku" yang dapat diekstraksi dan dimonetisasi. Identitas menyusut menjadi statistik; jiwa larut dalam sinyal.

Hal ini mengingatkan pada konsep reifikasi dalam pemikiran Marxis, khususnya Georg Lukcs dalam History and Class Consciousness (1971), yang menyebut bagaimana relasi manusia dipadatkan menjadi benda demi logika pasar. Fenomenologi, melalui Merleau-Ponty dalam Phenomenology of Perception (2002), mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar aksi yang terukur, melainkan kehadiran yang sarat makna, sering tak terkatakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun