Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Identitas sebagai Konstruksi Virtual: Dari Jean-Paul Sartre ke Instagram

15 April 2025   04:30 Diperbarui: 15 April 2025   08:36 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di sebuah ruang tanpa dinding, kita berdiri menatap diri dalam ribuan cermin yang tak lagi bening: Instagram, seperti pasar malam yang tak pernah tidur, memanggil kita untuk tampil, tersenyum, dan menyusun mozaik diri yang ingin kita pertontonkan. Setiap unggahan menjadi panggung, setiap story adalah bisikan: "Lihatlah aku, seperti inilah aku ingin kau lihat." Namun di balik kilatan kamera dan kilau pujian, muncul tanya yang menelusup dalam: apakah aku sungguh menjadi diriku sendiri saat membentuk citra untuk dilihat orang lain? Ataukah aku justru tercerabut dari keheningan batin, menjadi proyeksi kehendak kolektif, terurai oleh lensa orang lain? Jean-Paul Sartre pernah menulis: "L'enfer, c'est les autres" (1944)---Neraka adalah orang lain, bukan karena mereka jahat, melainkan karena dari mata merekalah aku dipaksa menjadi sesuatu. Di dunia yang penuh tatapan ini, kehadiranku tergantung pada bagaimana aku ditafsirkan, dinilai, disukai, atau dilewati. Maka, siapakah aku tanpa sorot mata itu? Dan adakah ruang tersisa di dunia digital ini untuk hadir tanpa harus menjadi tontonan?

Sartre dan Gagasan Identitas Sebagai Pilihan dan Pandangan Liyan

Bagi Jean-Paul Sartre, manusia bukanlah makhluk dengan esensi tetap yang melekat sejak lahir. Ia bukan hasil dari cetakan identitas, melainkan keberadaan yang membentuk maknanya melalui kebebasan memilih. Dalam ungkapannya yang terkenal, "Eksistensi mendahului esensi," Sartre menegaskan bahwa manusia ada terlebih dahulu, lalu bertanggung jawab atas apa yang ia pilih untuk menjadi.

Dalam L'tre et le Nant (1943), Sartre menggambarkan identitas manusia sebagai proyek yang tak pernah selesai---terus berubah, ditulis ulang dari hari ke hari. Tidak ada satu "aku" yang tetap; hanya "aku" yang selalu dalam proses menjadi, dibentuk oleh ketegangan antara kebebasan dan kondisi yang melingkupinya.

Namun, proses ini tidak pernah berlangsung dalam keheningan mutlak. Konsep Le Regard atau "tatapan orang lain" menunjukkan bagaimana kesadaran akan diri sering kali lahir dari persepsi Liyan. Kita menjadi objek di mata orang lain, dan dalam tatapan itu, muncul dorongan untuk menyesuaikan diri, agar terlihat berharga, layak, atau dapat diterima.

Jika dulu panggung sosial terbatas pada lingkungan sekitar, kini media digital memperluas ruang itu menjadi global dan tak pernah tidur. Instagram dan media sosial lainnya menjadi panggung baru tempat kita menampilkan versi diri yang terkurasi. Di era ini, manusia bukan hanya dikutuk untuk bebas, sebagaimana dikatakan Sartre: mungkin juga dikutuk untuk selalu tampil.

Instagram: Panggung Baru Kesadaran Diri

Di zaman ini, tempat manusia menata wajahnya bukan lagi cermin, melainkan layar. Instagram, seperti sebuah panggung yang tak pernah lengang, telah menjelma menjadi 'ruang performatif'---di mana "berbagi" tak lagi sekadar membagikan momen, melainkan menyusun 'persona.' Kita tidak hanya hidup; kita juga harus tampil. Dan dalam tampil itu, kita menjadi kurator atas diri kita sendiri.

Setiap unggahan adalah fragmen narasi yang kita pilih untuk tunjukkan. Foto-foto dipilah, sudut pandang disesuaikan, dan warna diberi sentuhan agar kesan yang tersampaikan sesuai dengan citra yang diinginkan. 'Identitas menjadi sesuatu yang dikurasi, bukan sekadar dijalani.' Seperti yang ditulis Jurgenson dalam The Social Photo: On Photography and Social Media (2019): "Instagram bukan tentang mengingat, melainkan mempertontonkan siapa kita ingin tampak sebagai siapa."

Lalu datanglah parade simbol-simbol kecil yang membawa beban makna besar: filter yang melembutkan cela, caption yang menyiratkan kedalaman, jumlah likes yang diam-diam kita hitung, dan komentar yang menjadi semacam pengakuan keberadaan. Di sinilah tatapan Sartre bertransformasi menjadi metrik digital. Le Regard kini berwujud dalam angka dan emoji: tatapan yang tak kasatmata tapi sangat terasa.

Di tengah gegap gempita ini, muncul pertanyaan yang menggantung dalam batin:  Apakah ini bentuk kebebasan baru---di mana setiap orang dapat mencipta dirinya?  Atau justru bentuk baru keterasingan, di mana kita perlahan menjauh dari diri yang sejati, demi memenuhi selera pasar perhatian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun