Beberapa tahun lalu, saya diminta membantu mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak sekolah dasar di Merauke. Kegiatan ini berlangsung santai di sebuah rumah sederhana yang sementara waktu berubah menjadi ruang belajar, diikuti oleh anak-anak kelas IV hingga VI yang penuh semangat dan rasa ingin tahu. Ketika mereka membuka buku catatan, saya cukup kagum melihat tulisan mereka yang rapi berisi rumus-rumus Simple Present Tense, Present Continuous, bahkan Past Perfect lengkap dengan contoh kalimat, penjelasan, dan latihan soal yang ditulis dengan sungguh-sungguh---membuat saya berpikir, "Wah, anak-anak ini pasti hebat-hebat." Namun, saat saya ajak mereka berbicara secara langsung dengan pertanyaan sederhana seperti, "What is your name?", suasana berubah---mereka tersenyum malu, saling pandang, lalu diam, bahkan ada yang menunduk dan tertawa kecil, tetapi tak satu pun menjawab dengan percaya diri. Saat itu saya sadar, mereka bisa menulis kalimat tapi belum bisa mengucapkannya; mereka mengenal istilah tense, tapi belum punya cukup kosakata untuk merangkai percakapan sederhana, bahkan menyebut nama benda sehari-hari pun masih terbata-bata---rupanya, apa yang tertulis di buku belum tentu hidup dalam keseharian mereka. Pengalaman ini menimbulkan banyak pertanyaan dalam diri saya, salah satunya: apakah cara kita mengajarkan bahasa selama ini sudah tepat? Apakah kita sedang mengajak anak-anak memahami, atau sekadar menghafal?
Potret Umum Pengajaran Bahasa Asing di Indonesia
Kalau kita melihat cara pengajaran bahasa asing---terutama bahasa Inggris---di banyak sekolah, kita akan menemukan pola yang cukup umum: anak-anak belajar bahasa, tapi bukan untuk dipakai berbicara. Tujuan utamanya sering masih soal nilai, ujian, atau kelulusan. Bukan soal bisa ngobrol atau menyampaikan ide dalam bahasa yang dipelajari.
Dari awal, anak-anak sudah dikenalkan rumus-rumus kalimat: Subject + Verb + Object, atau was/were + verb-ing. Mereka belajar tense sebelum tahu cara bilang "Halo, apa kabar?" dalam bahasa Inggris. Akhirnya, pelajaran bahasa jadi terasa seperti pelajaran matematika: penuh rumus dan hafalan.
Padahal, inti belajar bahasa adalah berkomunikasi. Anak-anak seharusnya lebih dulu diajak mengenal kata, bunyi, dan makna. Diajak bicara, mendengar, menirukan, dan mengucapkan. Tapi yang terjadi, pendekatan komunikatif ini justru minim: terutama di jenjang dasar. Banyak anak yang bisa menulis "I am eating rice," tapi tidak tahu bagaimana mengucapkannya dengan benar. Bahkan tidak paham kapan dan untuk apa kalimat itu digunakan.
Jadi bukan karena mereka malas belajar. Bukan juga karena tak mampu. Tapi cara belajarnya yang belum memberi ruang untuk menjadikan bahasa sebagai bagian dari keseharian. Akibatnya, bahasa asing jadi terasa asing---meski sudah bertahun-tahun dipelajari.
Ironi Kurikulum dan Praktik di Sekolah
Di banyak sekolah, bahasa Inggris sekarang mulai diajarkan sejak dini---bahkan ada yang dari taman kanak-kanak. Sekilas, ini mungkin terdengar baik. Tapi kalau kita perhatikan lebih dekat, ada hal penting yang sering terlupa: anak-anak kita belum benar-benar menguasai bahasa Indonesia.
Padahal, bahasa ibu adalah fondasi. Kalau fondasinya belum kuat, bagaimana bisa membangun lantai berikutnya? Anak-anak belum lancar membaca teks sederhana dalam bahasa Indonesia, tapi sudah diminta memahami kosakata dan struktur kalimat dalam bahasa asing. Akibatnya, dua-duanya jadi setengah-setengah.
Yang juga menarik, banyak sekolah pernah memilih bahasa Inggris sebagai pelajaran 'muatan lokal.' Padahal, sejak awal, pelajaran muatan lokal dirancang agar anak belajar sesuatu yang dekat dengan kehidupan mereka---misalnya bahasa daerah, kearifan lokal, keterampilan hidup. Tapi karena alasan prestise, atau tuntutan orang tua, akhirnya banyak sekolah justru memasukkan bahasa asing ke dalam slot itu. Pertanyaannya: apakah ini masih sesuai dengan semangat awal muatan lokal?