Di ufuk timur Nusantara, Merauke menjadi rumah bagi keberagaman, tempat berbagai etnis, bahasa, dan kepercayaan hidup berdampingan dalam harmoni. Tradisi open house, yang dimulai sejak kepemimpinan Bupati Johanes Gluba Gebze pada 1999, mempererat kebersamaan dengan membiarkan pintu-pintu rumah terbuka bagi siapa saja, tanpa memandang latar belakang. Idulfitri 2025 hadir beriringan dengan Masa Prapaskah, mempertemukan dua perjalanan spiritual dalam semangat pengorbanan dan kasih. Di kota ini, perbedaan bukanlah sekat, melainkan jembatan yang menghubungkan. Dalam suasana yang penuh ketulusan, umat Muslim merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa, sementara saudara Kristiani menapaki jalan refleksi menuju Paskah. Tanpa perlu saling menenggelamkan, keduanya berjalan berdampingan, membuktikan bahwa keberagaman dapat dirayakan, bukan dipertentangkan. Seperti orkestra yang menghimpun berbagai nada, Merauke terus menggema sebagai simfoni keberagaman yang indah dan abadi.
Perayaan Idulfitri: Kemenangan dalam Kebersamaan
Fajar merekah di ufuk timur, menyibak kabut tipis yang masih bergelayut di atas tanah Merauke. Dari sudut ke sudut, gema takbir berkumandang, menelusup ke celah-celah rumah dan menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya. Udara pagi membawa aroma tanah yang baru saja tersiram embun, berpadu dengan harumnya ketupat yang mulai diangkat dari anyaman janur. Setelah tiga puluh hari berpuasa, menahan lapar dan dahaga, mengekang amarah dan hawa nafsu, umat Islam kini berdiri di ambang kemenangan---mereka telah menuntaskan perjalanan spiritual menuju fitrah.
Jalan-jalan mulai ramai oleh langkah-langkah penuh suka cita. Para lelaki dengan sarung dan peci putih berbondong-bondong menuju masjid, sementara para perempuan melangkah anggun dalam kebaya atau gamis berenda, membawa kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan. Setelah doa terakhir dipanjatkan, tangan-tangan terulur, berjabat dalam ketulusan, menghapus segala khilaf yang pernah ada. Tidak ada yang lebih indah dari momen ini---saling mengikhlaskan, saling menerima, dan saling memeluk dalam kehangatan Idulfitri.
Di rumah-rumah, meja-meja telah disiapkan. Ketupat yang telah matang disandingkan dengan opor ayam yang kuahnya kental menggoda. Sambal goreng hati, rendang, dan aneka kue kering tersusun rapi, siap menyambut siapa saja yang datang. Merauke, seperti tahun-tahun sebelumnya, membuka pintunya lebar-lebar. Open house bukan sekadar tradisi, tetapi juga bahasa kasih, ruang di mana hidangan bukan hanya makanan, melainkan simbol keterbukaan dan kepedulian.
Anak-anak dari umat Kristiani, dengan wajah berbinar, menjadi tamu kecil yang paling riang di hari kemenangan ini. Mereka berlarian dari rumah ke rumah, mengetuk pintu tanpa ragu, menyebut nama orang-orang dewasa yang bahkan mungkin tak mereka kenal dengan baik. Tapi, tak ada yang peduli. Hari ini bukan tentang siapa mengenal siapa, melainkan tentang kebahagiaan yang mengalir tanpa batas. Bahkan, tak jarang mereka kembali ke rumah yang sama, menikmati suguhan yang tak berbeda dari sebelumnya, hanya karena ingin mengulang tawa dan merasakan lagi hangatnya kebersamaan.
Di hari yang suci ini, setiap perbedaan mencair dalam gelombang persaudaraan. Yang Islam menyuguhkan hidangan dengan penuh keramahan, sementara yang Kristiani, Konghucu, atau siapa pun yang bertetangga, datang dengan hati yang lapang, membawa doa dan kebahagiaan yang tulus. Tak ada yang bertanya tentang keyakinan di meja makan, tak ada yang ragu untuk menikmati kebersamaan.
Lebaran di Merauke bukan hanya perayaan satu agama, melainkan perayaan sebuah kota: kota yang sejak dulu memilih persaudaraan di atas perbedaan, yang mengerti bahwa keberagaman bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dirayakan.
Prapaskah: Perjalanan Sunyi Menuju Terang Paskah
Di sudut lain Merauke, di balik riuh kemenangan yang dirayakan saudara-saudaranya yang Muslim, umat Kristiani menapaki jalan sunyi: perjalanan menuju terang Paskah. Masa Prapaskah mengajak mereka masuk ke dalam ruang permenungan: doa menjadi lentera, puasa menjadi persembahan, dan pengorbanan menjadi jalan pulang menuju hati yang lebih murni. Tak ada gegap gempita, tak ada kemewahan, hanya kesederhanaan yang mendalam, seperti biji gandum yang rela jatuh ke tanah demi memberi kehidupan baru.