Angin segar bertiup di ranah pendidikan: sastra kini tak lagi sekadar pelengkap, tetapi denyut hidup dalam kurikulum. Keputusan Mendikbudristek Nomor 025/H/P/2024 bukan hanya daftar buku, melainkan janji untuk menghidupkan imajinasi, mengasah akal, dan merayakan perasaan yang jujur. Namun, pertanyaannya: siapkah kita membiarkan sastra bernapas dalam kebebasan? Sebab sastra bukan sekadar kata-kata jinak, melainkan medan liar bagi pikiran yang berani dan ekspresi yang tak terbendung. Jika benar diberi ruang, ia bukan sekadar bahan hafalan, melainkan cermin kehidupan: memantulkan cahaya kebenaran dan keberanian untuk berbeda. Kini, setelah tempatnya diakui dalam kurikulum, tugas kita adalah memastikan bahwa ia tumbuh di tanah yang subur, bukan sekadar ruang kosong yang hampa makna.
Sastra dan Keberanian Berpikir: Mengasah Akal dan Nurani
Dunia bergerak cepat, nyaris tanpa jeda. Informasi mengalir deras, menciptakan pusaran arus yang bisa menyesatkan siapa saja yang hanya menerima tanpa bertanya, hanya menelan tanpa mencerna. Dalam lanskap yang penuh distraksi ini, keberanian berpikir bukan sekadar keistimewaan, melainkan kebutuhan: kunci agar seseorang tidak tersesat dalam kabut opini dan kepalsuan yang sering menyerupai kebenaran.
Di sinilah sastra berdiri sebagai penjaga akal. Ia bukan sekadar hiburan yang mengisi waktu luang, melainkan senjata yang mempertajam nalar dan melembutkan nurani. Ia mengajarkan anak-anak untuk bertanya ketika orang lain diam, menganalisis ketika yang lain pasrah, dan menantang status quo ketika yang lain memilih tunduk. Melalui tokoh-tokoh yang berani melawan arus, konflik-konflik yang memancing pemikiran kritis, dan narasi yang membongkar realitas dengan kejujuran, sastra menanamkan keberanian untuk berpikir sendiri, untuk tidak sekadar menjadi gema dari suara mayoritas.
Kini, Kurikulum Merdeka membawa secercah harapan. Ia tidak lagi menempatkan sastra sebagai hafalan semata, tetapi sebagai medan eksplorasi, tempat peserta didik bebas menafsirkan teks, menggali makna, dan menemukan pemahaman mereka sendiri. Sebab sastra yang sejati tidak pernah meminta untuk dihafal: ia mengajak untuk direnungkan, diperdebatkan, dan jika perlu, dipertanyakan. Jika kebebasan ini benar-benar dihidupkan, maka generasi yang lahir darinya bukanlah generasi yang pasif, melainkan mereka yang berani berpikir dan tidak takut untuk berbeda.
Menulis sebagai Ekspresi Diri: Saat Kata-Kata Menjadi Sayap
Apa artinya kebebasan jika tidak ada ruang untuk bersuara? Jika pikiran hanya bergema di dalam kepala, tanpa pernah menjelma menjadi kata-kata yang bisa mengubah dunia? Menulis adalah kebebasan dalam bentuk paling murni: ketika gagasan, perasaan, dan keresahan menemukan rumahnya dalam aksara.
Sejak dahulu, manusia menulis bukan sekadar untuk mencatat, tetapi untuk meninggalkan jejak: bukan hanya di atas kertas, melainkan dalam ingatan dan sejarah. Kata-kata yang lahir dari pena bisa melawan lupa, menantang tirani, dan membangun jembatan antara yang nyata dan yang mungkin. Setiap tulisan, entah sebuah puisi kecil atau esai panjang, adalah tanda bahwa seseorang pernah ada, pernah berpikir, pernah merasakan sesuatu yang begitu kuat hingga tak mungkin disimpan sendiri.
Kini, Kurikulum Merdeka membawa harapan bahwa peserta didik tidak hanya membaca teks karya orang lain, tetapi juga menulis dari lubuk hati mereka sendiri. Tidak sekadar menyalin kata-kata, tetapi mencipta; tidak hanya memahami, tetapi juga mengungkapkan. Sastra tidak boleh menjadi pelajaran yang kering dan penuh hafalan---ia harus menjadi taman luas tempat kata-kata tumbuh dengan liar dan bebas, sehingga setiap anak berhak menemukan suara mereka sendiri.
Sastra dalam Kurikulum Merdeka harus lebih dari sekadar pemahaman teks. Ia harus menjadi ruang yang mengasah keterampilan menulis sebagai bentuk ekspresi diri yang autentik. Sebab di balik setiap kalimat yang jujur, ada jiwa yang berani berbicara. Dan di situlah kebebasan menemukan maknanya yang sejati.
Berani Berbeda: Sastra sebagai Ruang bagi Keberagaman Pikiran