Mohon tunggu...
Agustino Pratama
Agustino Pratama Mohon Tunggu... Jurnalis - Desainer Grafis dan Bangunan, Konten Kreator, serta Penulis Amatir yang mood nya naik turun

"Siapa tak kenal binatang jalang, lihat diri sendiri penasaranmu hilang. Jangan menangis, diatas masih ada bintang." Seburuk apapun kita, kita selalu mempunyai kesempatan untuk memulai perubahan. Jangan pernah ragu untuk melangkah. Berpegang teguh pada satu prinsip, "Bukan menjadi orang lain untuk menjadi yang terbaik, jadilah diri sendiri yang pasti bisa menjadi seseorang yang lebih baik." - Agustino Pratama -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cintai Ulama pada Porsinya

7 Januari 2018   09:36 Diperbarui: 7 Januari 2018   10:06 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Alangkah lebih baik meletakkan cinta pada porsinya. Termasuk cinta pada Ulama.

Yang sempurna itu kanjeng nabi. Yang tidak ada salahnya, itu gusti Allah. Betul? Sekalipun itu ulama, kita harus bisa menempatkan cinta pada porsinya. Jangan mencintai seseorang secara berlebihan. 

Cinta sewajarnya saja. sehingga kita masih bisa membedakan antara orang baik dengan orang jahat. sehingga kita masih bisa berfikiran terbuka bahwa masih ada benar dan salah.

Jangan sampai karena rasa cinta yang berlebihan, kita selalu membenarkan seseorang dan mengabaikan salahnya. Ulama adalah pewaris para nabi, namun, perlu kita ingat pula ulama bukan nabi. Kita pun perlu waspada, harus bisa menilai secara kritis, mana ulama yang bisa dijadikan panutan, mana ulama yang kurang layak dijadikan panutan. 

Seperti yang kita ketahui seorang ulama pun ada yang murtad, ulama pun ada yang dianggap memecah belah, dan tidak menutup kemungkinan (jangan diabaikan) ada pula ulama samar-samar, dimana dari ucapan dan pemahaman ilmunya mumpuni dan matang, namun punya tujuan lain dalam memanfaatkan ilmunya.

Ingat, ummat Kanjeng nabi itu ummat akhir jaman, dimana setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam akan banyak fitnah bertebaran dimana2, termasuk yang menggunakan Alquran dan sunnah sebagai alat fitnah. Tetap waspada. Setelah kanjeng Nabi, tdk ada orang-orang yang sempurna.

Mari kita lihat kebelakang, sayidina Ali terbunuh karena dasar pemahaman ulama (kalangan Khawarij) tentang Alquran dan Sunnah. Hal itulah yang perlu menjadi pertimbangan kita. Waspadai pemahaman ulamanya, meski kita tetap ta'dzim dan cinta ulama.

Mohon maaf, dan koreksi apabila ada salah kata atau pemahaman.

Sayidina Ali, terbunuh dan wafat oleh salah seorang dari kalangan khawarij (Ibnu Muljam). Alasan Ibnu Muljam berniat membunuh Sayidina Ali adalah karena dianggap sebagai pemimpin dzolim karena pernah membunuh sanak saudaranya dari kalangan Khawarij. 

Pada saat menghunuskan pedang pada Sayidina Ali pun, Ibnu Muljam mengucapkan salah satu ayat Alquran, dengan pemahaman "Hukum Allah harus diletakkan diatas hukum manusia", padahal tujuan sebenarnya adalah untuk membalas dendam.

Mohon dicermati pernyataan saya.

Fenomena terbunuhnya sayidina Ali tersebutlah yang mungkin sedang terjadi saat ini. Mari kita lihat dan komparasikan dengan fenomena yang ada terkait ormas HTI, yang bertujuan meletakkan hukum Islam di Indonesia ini, mereka juga berpemahaman "Hukum Allah harus diletakkan diatas hukum manusia".

Mohon dikoreksi jika saya salah. Ibnu Muljam, sang pembunuh Sayidina Ali RA adalah seorang hafidz Al-Quran dari kalangan khawarij, yang hal itu juga dapat dipahami bahwa Ibnu Muljam pun punya cukup pemahaman agama. Namun yang terjadi adalah berusaha memanfaatkan Ayat Al-Quran untuk tujuan pribadi. Al-Quran dijadikan pembenaran untuk tindakannya.

Bagi Ibnu Muljam, Sayidina Ali pantas dihukum atas kesalahan yang dianggap sudah dilakukannya.

Mohon maaf, terkait kisah meninggalnya sayidina Ali, mungkin para pembaca dari kalangan alim Ulama lebih cukup pengetahuan dibandingkan dengan saya yang masih belum cukup ilmu.

Pada intinya, yang ingin saya sampaikan dalam artikel ini adalah mari kita cintai dan ta'dzim dengan ulama. Namun perlu kita cermati dan kritisi, ulama mana yang berhak dicintai, yang pantas dicintai, agar kita tidak mudah terpengaruh terhadap pemahaman / ideologi dari ulama' yang salah.

Bahasan tentang sayidina Ali yg sempat saya sampaikan hanya sebuah statemen pembanding, bahwa di masa khulafaurrasidin pun sudah ada kalangan ulama (orang yang punya pengetahuan) yang menyalahgunakan Alquran untuk kepentingan pribadi.

Saya yakin tidak ada yg melarang "cinta ulama", tidak ada yg bermaksud membenturkan ulama. Namun, kita perlu untuk berusaha saling mengingatkan, agar kita tidak salah dalam memilih ulama' yang dijadikan panutan.

Dan untuk menjadi perhatian pula bahwa kita perlu saling mengingatkan, "Mari kita cintai MAKHLUK sesuai dengan Porsinya". Kita berhak mencintai ulama, mengagumi ulama, ta'dzim pada ulama, namun sesuai dg porsinya. 

Tidak serta merta mencintai, tanpa menilai adanya hal yang tidak sesuai dalam pemahamannya. Kita cintai sosok dan ilmunya, namun tidak ada salahnya, kita tetap WASPADA dengan ideologinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun